REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tunjangan gaji pejabat daerah yang berlebihan disinyalir merupakan bentuk korupsi terselubung. Para pejabat tersebut menggerogoti keuangan negara yang bersembunyi di balik Perda (peraturan daerah) yang mengatur tentang tunjangan berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
“Mereka menggerogoti keuangan negara tanpa takut karena dilindungi peraturan,” kata Koordinator Investigasi dan Advokasi FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ucok Sky Khadafi saat dihubungi Republika, Jumat (8/7).
Menurutnya, yang terjadi saat ini adalah PAD yang didapat suatu pemerintah daerah (Pemda) langsung dialokasikan kepada tunjangan pejabat dan PNS. Padahal, lanjut Ucok, seharusnya PAD yang didapat itu langsung dialokasikan kepada pelayanan dasar masyarakat seperti layanan kesehatan dan pendidikan terlebih dahulu.
“Intinya, berbuat dulu untuk melayani masyarakat baru mendapatkan tunjangan, selama ini kan terbalik, dapat tunjangan dulu pelayanan dasar masyarakatnya dilupakan,” kata dia, menyesalkan.
Seperti diketahui, di beberapa pemerintah daerah, banyak pejabat yang membawa pulang gaji puluhan juta rupiah karena banyaknya tunjangan yang mereka terima. Nilai tunjangan itu tidak mempertimbangkan PAD.
Misalnya, Provinsi Banten yang PAD-nya hanya Rp 1,6 Triliun member tunjangan pejabat eselon I sebesar Rp 50 juta. Angka ini jauh di atas tunjangan pejabat Jawa Timur yang PAD-nya mencapai Rp 5 triliun lebih.
Contoh lainnya, pejabat di Sulawesi Utara yang PAD-nya Rp 350 miliar menikmati tunjangan jauh lebih tinggi dibandingkan pejabat di Jawa Timur. Demikian pula pejabat daerah di Sulawesi Tengah yang PAD-nya Rp 278 miliar.