REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi sepakat tidak melakukan voting pada rapat paripurna DPR, Selasa (19/7), untuk menentukan besaran usulan persyaratan "parliamentary threshold" pada draf Rancangan Undang-Undang Pemilu.
"Pada rapat konsultasi dengan pimpinan DPR RI, kita sepakat untuk tidak sepakat," kata Sekretaris Fraksi PAN DPR RI, Teguh Juwarno, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (18/7).
Teguh Juwarno menjelaskan, sepakat untuk tidak sepakat maksudnya, pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi di DPR RI sepakat untuk tidak menyepakati besaran persyaratan "parliamentary threshold" (PT) pada satu angka yang sama.
Menurut dia, pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi di DPR berpandangan bahwa draf RUU Pemilu ini baru sebatas draf usul inisiatif dari DPR RI. Dengan demikian hasil akhir masih menunggu draf daftar isian masalah (DIM) dari pemerintah untuk kemudian dibahas bersama pemerintah.
Usulan besaran persyaratan "parliamentary threshold" pada draf RUU Pemilu, menurut dia, sepakat masih menggunakan keputusan Badan Legislasi DPR RI, yakni dua opsi.
Opsi pertama yakni mengusulkan, persyaratan "parliamentary threshold" tiga persen serta opsi kedua mengusulkan persyaratan "parliamentary threshold" 2,5 hingga 5 persen.
"Pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi sepakat mengakomodasi dua opsi usulan tersebut pada draf RUU Pemilu serta menjamin tidak dilakukan voting pada rapat paripurna, Selasa (19/7) besok," katanya.
Menurut dia, Fraksi PAN mengusulkan besaran persyaratan "parliamentary threshold" pada besaran tiga persen dengan pertimbangan penyederhanaan partai politik harus dilakukan secara gradual, tidak bisa langsung dari 2,5 persen menjadi lima persen, karena akan terjadi instabilitas politik nasional.
Persyaratan "parliamentary threshold" adalah batas ambang perolehan suara partai politik untuk bisa duduk di kursi parlemen.