REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya tiba di Akademi Kepolisian Mesir, di Kairo, tempat dia dan dua anaknya, Alaa dan Gamal, diadili pada Rabu di bawah penjagaan ekstra ketat.
Sebuah helikopter yang membawa Mubarak telah mendarat di lapangan parkir Akademi Kepolisian di Distrik Madinat Nasir. Mubarak tiba di Kairo dari Rumah Sakit Sharm El Sheikh, kota wisata Laut Merah, 500 km sebelah timur Kairo.
Rakyat Mesir menyebut pengadilan ini merupakan mahkamah bersejarah karena untuk pertama kali seorang presiden Mesir dihadapkan ke pengadilan.
Pengadilan ini merupakan tuntutan dari pro reformasi yang menumbangkan rezim 30 tahun itu pada 11 Februari 2011.
Sehari sebelumnya, banyak rumor beredar di kalangan masyarakat Mesir bahwa kesehatan Mubarak memburuk sehingga tidak bisa menghadiri pengadilan perdana itu.
Mubarak dihadapkan pada dakwaan berlapis termasuk pembunuhan terhadap 850 demonstran dalam revolusi pada Januari dan Februari 2001. Mantan orang kuat itu berada di rumah sakit Sharm El Sheikh itu sejak April lalu.
Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun menyerahkan kekuasaan kepada militer setelah para pengunjuk rasa tiada henti menuntutnya mundur dari kursi kepresidenan sejak 25 Januari 2011.
Unjuk rasa akbar yang disebut "Jumatul Ghadhab (Revolusi Jumat)" itu menewaskan ratusan orang akibat terlibat bentrok hebat dengan polisi. Tapi Badan PBB yang mengurusi hak asasi manusia menyebut jumlah korban tewas dalam aksi itu mencapai 300 dan ribuan menderita luka-luka.
Beberapa jam sebelum taklimat pengunduran dirinya, Mubarak bersama keluarganya telah meninggalkan ibu kota Kairo ke Sharm El Sheikh.
Militer Mesir yang telah menerima kekuasaan dari Presiden Mubarak segera membubarkan kabinet pimpinan Perdana Menteri Ahmed Shafiq yang ditunjuk oleh Presiden Mubarak dua menyusul pengunduran diri kabinet pimpinan PM Ahmed Nazif pada 28 Januari.
Selain pembubaran kabinet, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata juga menangguhkan parlemen. Sejak Revolusi Jumat berlanjut hingga 11 Februari 2011, para pengunjuk rasa mengubah yel-yel "Jumatut Tarhil" (Jumat perginya Mubarak).
Para pengamat mengatakan, Mubarak bertahan di kursi kekuasaan hingga 30 tahun sejak 1981 itu karena mendapat dukungan kuat dari militer.
Dalam pidatonya sehari menjelang pengundurannya, ia masih menyatakan tidak akan mundur. Namun kemudian ia menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Omar Suleiman, mantan kepala intelijen, dan mengajukan amandemen konstitusi.
Kendati diprotes pengunjuk rasa, Dewan Tertinggi Militer menyatakan mendukung pengalihan kekuasaan tersebut. Dalam taklimatnya, militer menjanjikan pemilihan umum bebas, namun belum menentukan tanggal pastinya.
Rakyat terutama para demonstran di Bunderan Tahrir, Kairo, saat itu menyambut gegap gempita pengunduran diri Mubarak yang telah lama dinanti-nantikan.
Sebagai tanda suka cita, ribuan pengunjuk rasa mengibarkan bendera dan mobil-mobil membunyikan klakson. "Rakyat telah menggulingkan rezim itu!," demikian teriakan para pengunjuk rasa di Tahrir setelah Omar Suleiman mengumumkan bahwa Mubarak telah menyerahkan kekuasaan kepada militer.
Militer Mesir terus mengawal peralihan sampai pemilihan umum sesuai dengan janjinya dan juga "mengawal" kepentingan Amerika Serikat dan Israel.
Mesir dan Israel dengan mediasi Amerika Serikat menandatangani perjanjian damai 1979, dua tahun sebelum Mubarak menjabat presiden. Perjanjian itu menjamin kepentingan kedua negara dan mensyaratkan jaminan bagi stabilitas regional.
Perkembangan terbaru di Mesir yang ditandai dengan mundurnya Presiden Hosni Mubarak sejak Februari lalu dan dilanjutkan dengan pengadilan terhadap mantan orang kuat itu juga dinilai sebagai langkah positif yang baik demi terciptanya proses demokratisasi yang semakin luas di negara Arab itu.
Hamdan Basyar, peneliti utama bidang politik pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengomentari pengadilan Mubarak.
Hamdan yang juga Direktur Eksekutif ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies) mengatakan pengadilan terhadap Mubarak bisa merupakan jawaban atas tuntutan-tuntutan para demonstran.
"Mubarak terlalu lama memimpin Mesir dan pengadilan terhadapnya semacam "balas dendam" untuk memuaskan masyarakat," kata Hamdan.
Pengadilan terhadap Mubarak menarik perhatian rakyat Mesir dan mereka akan menyaksikan prosesnya hingga apa keputusanya yang pantas bagi dia.