REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, kepada Wakil Presiden (Wapres) Boediono menanyakan terkait Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) saat keduanya bertemu di Kantor Wapres di Jakarta, Selasa (23/8).
"Yang tadi menarik, beliau tadi menanyakan MP3EI. Dia mengatakan, apa prioritas Indonesia, apa yang bisa dilakukan investor asing," kata Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik, Dewi Fortuna Anwar, usai menemani Wapres dalam pertemuan tersebut.
Menurut Dewi, Wapres menjelaskan di dalam MP3EI Indonesia membuat pusat-pusat pertumbuhan. Untuk itu tidak hanya dibutuhkan modal keuangan, namun juga modal sumber daya manusia, ketrampilan, intelektual dan juga teknologi. "Karena yang diinginkan adalah membangun suatu pusat yang sifatnya lebih kompleks pembangunannya, yang lebih sustainable," bebernya.
Menurut Wapres, modal-modal itu dibutukan agar dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, misalnya pariwisata dan pertanian sehingga mampu membangun secara berkelanjutan. "Misalnya, Pak Wapres tadi menjelaskan tentang palm oil. Tidak lagi ingin hanya mengekspor crude, tapi bagaimana kita develop industrinya di situ. Nah, untuk ini tentu juga diperlukan teknologi transfer, di samping kapital," tuturnya.
Tony Blair, menurut Dewi, mendukung kebijakan Indonesia, dan Inggris menjanjikan kerja sama, terutama di bidang pendidikan. Selain itu, Inggris saat ini juga merupakan salah satu investor besar di Indonesia. Tony Blair, menurut Dewi, juga mengatakan investor Eropa saat ini mencari negara-negara berkembang baru untuk melakukan investasi seiring masih memburuknya perekonomian di kawasan tersebut.
Ia mengatakan, investor Inggris memiliki minat berinvestasi di Indonesai namun, seringkali terhambat oleh regulasi. Atas keluhan maslah regulasi tersebut, menurut Dewi, Wapres mengakui tidak mudah untuk melakukan perubahan.
"Pak Wapres mengakui bahwa ini memang suatu tantangan memang kalau pemerintahan otoriter, misalnya di zaman orde baru, masalah-masalah seperti ini bisa lebih cepat diselesaikan karena pemerintah bisa memaksakan kehendak. tapi dalam sistem demokrasi tentu semua lebih memakan waktu karena memerlukan negosiasi," tandas Dewi.