REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar setuju dengan langkah Komisi III DPR yang ingin memanggil Kapolri Jenderal Timur Pradopo dalam rapat dengar pendapat Komisi III. Hal itu sebagai respon lambannya Bareskrim Polri menuntaskan kasus yang diduga dilakukan mantan anggota KPU Andi Nurpati.
Menurut Akil, DPR pantas untuk mempertanyakan kasus surat palsu MK yang tidak hanya lamban penyidikannya. Namun juga menimbulkan pertanyaan besar bagi publik, sebab pola penetapan tersangka sangat irasional dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dengan posisi seperti itu, Akil menyebut Polri tidak ubahnya mengabdi kepada kepentingan politik tertentu, sebab mengistimewakan orang yang dekat dengan penguasa. Dengan model penyidikan seperti sekarang, kata dia, Polri tidak ubahnya ingin memproteksi pihak-pihak tertentu agar aman dari jeratan hukum.
"Polri tidak lagi steril dari tekanan penguasa dan menghamba pada kekuasaan," tuding Akil, Senin (12/9). Kondisi itu, sebut Akil, jelas bertentangan dengan falsafah penegakan hukum di Indonesia yang mengabdi kepada kebenaran dan rakyat.
Akil menilai, arah penyidikan Polri bertentangan dengan data dan fakta hukum di lapangan. Hal itu mengingat orang yang menjadi korban, seperti mantan panitera pengganti MK Zainal Arifin Hoesein, malah ditetapkan sebagai tersangka.
"Pelapor dan orang yang tanda tangannya dipalsukan malah jadi tersangka, sementara pembuat surat palsu masih bebas," kata Akil.
Yang menggelikan, ungkap dia, hasil penyidikan Polri berbeda jauh dengan temuan tim investigasi MK, Panja Mafia Pemilu DPR, dan hasil rekonstruksi penyidik di gedung MK, KPU, dan stasiun JakTV. Akil mendesak perbedaan itu wajib dijelaskan Kapolri di depan DPR, agar rakyat tidak disesatkan dengan kinerja penyidik yang melawan akal sehat masyarakat.