Rabu 14 Sep 2011 16:13 WIB

Kabul Diserang, Roket-Roket Hantam Kedutaan Besar AS di Afghan

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Sekitar enam atau tujuh granat roket mendarat di halaman kedutaan Amerika Serikat di Kabul pada saat awal gelombang serangan gerilyawan Taliban, kata duta besar Amerika Serikat untuk Afghanistan pada Rabu (14/9).

Duta Besar Ryan Crocker dalam salinan wawancara untuk wartawan di ibukota Afghanistan itu menyatakan roket itu ditembakkan dari cukup jauh, sehingga ia tak menganggapnya serangan sungguh-sungguh atas kedutaan tersebut.

"Kami masih menghitungnya, tapi kira-kira enam, tujuh. Tapi, sekali lagi, itu ditembakkan dari jarak sedikit-dikitnya 800 meter dan dengan RPG (granat roket), itu pelecehan. Itu bukan serangan," katanya. Ia juga menyatakan yakin jaringan Haqqani, kelompok gerilyawan terkait Taliban, di belakang serangan itu.

Pejabat tentara Amerika Serikat berulang kali mengecilkan kejadian itu saat Taliban berusaha menunjukkan kekuatan sesudah serangkaian kekalahan, yang mengakibatkan kubu mereka diambil alih pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Amerika Serikat memimpin lebih dari 45 negara, yang mengerahkan tentara sebagai bagian dari lebih kurang 130.000 serdadu Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO tersebut.

Lebih dari 390 tentara asing tewas di Afghanistan pada tahun ini, kata hitungan AFP berdasarkan atas angka laman mandiri icasualties.org. Sementara itu, 711 tentara asing tewas untuk seluruh tahun lalu. Taliban sering menyasar pasukan asing dengan peledak rakitan kasar (IED), yang sering menyerang pasukan ronda jalan kaki atau di kendaraan lapis baja.

Sejak April hingga Juni tahun ini, 3.485 IED meledak atau ditemukan di Afghanistan, kata Badan Gabungan Penjinak IED Pentagon (JIEDDO), peningkatan 14 persen jika dibandingkan dengan masa sama tahun lalu.

Sejumlah 2.686 tentara asing tewas di Afghanistan sejak serbuan pada 2001, dengan Amerika Serikat menderita korban terbanyak dengan 1.746 orang, diikuti Inggris dengan 379, Kanada (157), Prancis (75), Jerman (52), Denmark (42), Italia (39), Spanyol (33), Polandia (29), Belanda (25), Australia (25), dan sisanya dari negara lain.

Pentagon pada awal Agustus berusaha menghilangkan kekuatirannya akan kebangkitan Taliban setelah pejuang Afghanistan itu menembak jatuh helikopter pada akhir pekan sebelumnya, yang menewaskan 30 tentara Amerika Serikat, sebagian dari mereka tentara khusus Angkatan Laut SEAL.

Itu kejadian paling mematikan bagi pasukan Amerika Serikat di Afghanistan sejak perang tersebut dimulai hampir sedasawarsa lalu dan mengikuti serangkaian pembunuhan kelas tinggi serta serangan gerilyawan dalam beberapa bulan belakangan.

Amerika Serikat seharusnya mengambil keuntungan dari kematian Osama bin Ladin dengan menarik tentaranya dari Afghanistan, kata mantan duta besar Saudi untuk Washington pada Rabu.

Sementara pembunuhan pemimpin Alqaida itu bukan akhir terorisme, itu seharusnya diberi nilai lebih oleh orang Amerika Serikat, kata Pangeran Turki Faisal, yang berbicara kepada tim pemikir di ibu kota negara adidaya tersebut.

Pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat melacak tempat persembunyian Osama di kota garnisun Pakistan, Abbottabad, dan membunuhnya dalam serangan berani pada awal Mei. Kematian Osama dapat menjadi kesempatan sempurna bagi presiden Amerika Serikat untuk menyatakan jadwal menarik pasukannya, kata pangeran mantan kepala sandi Saudi itu.

"Itu dapat menjadi saat tepat untuk menyatakan kemenangan dan mundur dari Afghanistan dan tidak terus dengan perang tanpa akhir tersebut," katanya di Pusat Kajian Strategis dan Internasional.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement