REPUBLIKA.CO.ID,SERANG--Panwas Pemilukada Banten menerima sejumlah laporan dugaan kecurangan yang diduga melibatkan birokrasi. Maraknya laporan dugaan kecurangan yang melibatkan birokrasi membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banten khawatir Pilgub Banten bakal diulang.
Ketua Divisi Pelanggaran dan Tindak Lanjut Pelanggaran, Panwas Pemilukada Banten, Haer Bustomi, mengatakan, Panwas Banten sudah menerima 17 laporan pelanggaran. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15 laporan telah diselesaikan dan 2 laporan lainnya dalam tahap penyelesaian. “Belum ada laporan yang masuk ranah hukum, sebab syarat formilnya saat diproses tidak lengkap,” kata Haer Bustomi, Rabu (14/9).
Beberapa laporan yang diduga melibatkan birokrasi, yaitu acara halal bi halal antara Walikota Tangerang, Wahidin Halim dengan belasan ribu guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) se-Kota Tangerang di Masjid Raya Al Azhoom pada Rabu (7/9) lalu. Wahidin Halim merupakan salah satu calon yang maju dalam pemilihan gubernur Banten.
Selain itu, kasus penyalahgunaan mobil dinas Pemerintah Kabupaten Serang bernomor A 357 A yang dipinjamkan kepada Ketua Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Serang, Ahmad Zaeni. Di mobil tersebut telah dipasang stiker bergambar pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah - Rano Karno.
Ketua Pokja Kampanye KPU Banten, Didih M Sudi, mengingatkan pejabat struktural pemerintah daerah dan kepala desa dilarang terlibat kampanye. Jika ditemukan bukti pejabat struktural pemda dan kepala desa terlibat mengerahkan massa dapat menjadi sengketa pelanggaran Pilgub di Mahkamah Konstitusi. “Yang sangat dihawatirkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara ulang seperti yang terjadi di sejumlah daerah,” kata Didih.
Didih menerangkan, larangan kepala satuan kerja perangkat daerah dan kepala desa ikut berkampanye sesuai dengan pasal 80 UU 32/2004 tentang pemerintah daerah dan pasal 48 peraturan KPU nomor 69/2009 tentang pedoman kampanye. Aturan tersebut antara lain menyatakan larangan membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Menurut Didih, jika pejabat daerah dan kepala desa ikut kampanye maka akan terjadi pelanggaran yang terstruktur sistematis dan massif. Sebab, pejabat dan kepala desa tidak boleh terkotak-kotak oleh kepentingan politik dan harus menjunjung tinggi asas netralitas.
Keterlibatan kepala desa dalam kampanye dikhawatirkan akan memengaruhi kebebasan masyarakat dalam menentukan hak pilihnya. “Jadi mereka itu tidak boleh memihak salah satu calon,” tegas Didih.
Para pejabat struktural dan kepala desa juga tidak diperbolehkan membuat surat dalam bentuk edaran, mobilisasi pertemuan massa, dan kegiatan yang menguntungkan, serta merugikan pasangan calon tertentu. “Jika itu terbukti maka MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang, bahkan ada juga calonnya yang didiskualifikasi seperti di Kalimantan Tengah,” kata Didih.