REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA - Mentari tepat berada di atas ubun-ubun ketika satu persatu truk pengangkut beras memasuki kawasan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Selasa siang. Puluhan buruh angkut dengan sigap berdiri begitu truk menepi di depan toko. Setelah terpal yang menutupi dan pintu belakang truk terbuka, mereka mengangkut satu persatu karung beras ke dalam pasar.
Hadiani (66) menunggu dengan tatapan awas. Tangan kirinya memegang sapu lidi, sedangkan tangan kanannya menggenggam pengki. Sementara di punggungnya melilit kain yang dijadikan pengganti tas.
Begitu aktivitas buruh angkut selesai, nenek lima orang cucu ini dengan cekatan menyapu beras yang berjatuhan ke jalanan. Tak dipedulikannya mentari yang bersinar terik.
Dengan tekun dikumpulkannya butir-butir beras yang bercampur dengan tanah jalanan. Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang disandangnya.
Sesekali tangannya mengusap keringat yang menetes di wajah penuh dengan kerutan. Kelelahan tampak jelas di wajahnya, tapi Hadiani tak memperdulikannya. Dia terus bekerja hingga tak ada lagi beras di jalan.
Hadiani merupakan satu dari ratusan pengumpul beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Ada pengumpul beras yang mengumpulkan beras yang berceceran di lantai toko. Biasanya pengumpul beras itu sudah mendapat izin dari pemilik toko.
"Kalau yang berceceran di toko itu tidak boleh dipunguti karena sudah ada orangnya, jadi cuma boleh memunguti beras yang ada di jalan," ujar perempuan asal Semarang ini.
Usai beras terkumpul, dia kemudian memisahkan beras dan pasir. Setiap harinya, ia berhasil mengumpulkan delapan liter beras yang dijual dengan harga Rp 3.000 per liter. "Biasanya beras itu bukan untuk dimakan, tapi untuk makan ayam," jelas dia.
Dia mengatakan, sudah melakoni profesi ini sejak enam tahun yang lalu. Sejak anak satu-satunya, Budiman, meninggal dunia dan meninggalkan lima orang cucu. Menantunya, pergi entah kemana.
Sejak itu, Hadiani mengambil alih semua tanggung jawab. Termasuk menyekolahkan kelima cucunya, Haryanto (17), Haryono (15), Haryadi (13), Harsono (11), dan Haryani (9).
Pada awalnya, ia mengaku bingung mau bekerja apa. Sebelumnya perempuan yang merantau ke Jakarta sejak 1971 ini menjadi pembantu rumah tangga.
Namun di usianya yang menjelang kepala tujuh, ia tidak mampu melakoni profesi itu lagi. "Kalau jadi pembantu tidak kuat, kakinya sudah sakit-sakitan," kata perempuan yang menjanda sejak tahun 1995 itu.
Hingga kemudian, temannya mengajaknya untuk mengumpulkan beras di PBIC. Ia mengaku mau tidak mau harus banting tulang menghidupi cucu dengan memunguti beras yang berceceran di pasar induk itu,walaupun secara fisik harus banyak istirahat.
Di Jakarta, dia dan kelima cucu tinggal di sebuah kamar kontrakan yang disewa Rp 250 ribu per bulan. Di kamar itu, dia dan kelima cucunya melakukan aktivitas mulai dari tidur hingga masak-memasak. "Kalau dibilang sempit ya sempit. Tapi mau bagaimana lagi," ujar dia pasrah.
Beruntungnya, cucunya yang duduk di SD, SMP dan SMA itu berprestasi di sekolah. Sehingga dia tak perlu repot memikirkan biaya sekolah setiap bulannya.
"Uang jajan saja yang diberi setiap pagi. Ada yang Rp 1.000, ada yang Rp 2.000 dan ada juga yang Rp 3.000. Tergantung sekolahnya," jelas dia.
Menurut dia, cucu-cucunya mengerti kondisi keuangan neneknya dan tak pernah meminta macam-macam. Bahkan si sulung Haryanto, berniat langsung mencari kerja begitu lulus sekolah.
Sedangkan untuk makan sehari-hari, ia menyisihkan beras yang dikumpulkannya untuk dimasak dan dimakan bersama. Terkadang, ia juga mendapat belas kasihan dari para tetangga yang iba pada nasibnya.
"Makan seadanya saja, kadang pakai lauk kadang tidak," jelas dia.
Dalam usianya yang senja, Hadiani tak berharap banyak. Ia hanya mengharapkan terus sehat selalu dan mampu membiayai cucunya hingga lulus sekolah. Dia tak bisa membayangkan nasib cucu-cucunya jika seandainya dirinya jatuh sakit. "Semoga saya sehat selalu," kata dia lirih.
Amien. semoga Allah mendengar dan mengabulkan doanya.