REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafiz Anshary telah ditetapkan sebagai tersangka terkait sengketa pilkada di Halmahera Barat, Maluku Utara. Menurut Wakil Jaksa Agung, Darmono, Abdul Hafiz disangkakan dengan pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan pasal 266 KUHP tentang memberikan keterangan palsu.
"Baru terima nama orangnya di SPDP itu, pasalnya 266 dan 263 KUHP," kata Wakil Jaksa Agung, Darmono yang ditemui di Kejaksaan Agung, Senin (10/10).
Darmono mengatakan SPDP terkait penetapan Abdul Hafiz sebagai tersangka diterima Jaksa Agung Pidana Umum (Jampidum) pada 15 Agustus kemarin. SPDP nomor Spdp.No.B./81-DP/VII/2011/Dit.Tipidum itu dikeluarkan pada 27 Juli 2011. Dalam SPDP itu tercantum atas nama Abdul Hafiz dengan sangkaan pasal 263 KUHP dan 266 KUHP.
Mengenai kasus sengketa di Halmahera Barat mana yang menjerat Abdul Hafiz, ia tidak menjelaskan detail. Ia berkelit belum dapat memastikannya, karena belum mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kasus tersebut.
Ia hanya menyebutkan pihaknya telah menerima tiga SPDP yaitu Mashuri Hasan, Zainal Arifin Hoesein dan Abdul Hafiz Anshary. Berkas perkara Mashuri Hasan telah dinyatakan lengkap atau P21 dan telah berada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Sedangkan berkas perkara Zainal Arifin Hoesein masih belum lengkap atau P19 dan masih dilengkapi penyidik Bareskrim Polri. "Saya kira kasusnya berbeda antara MH (Mashuri Hasan) dan ZA (Zainal Arifin Hoesein) dengan AH (Abdul Hafiz Anshary)," ucapnya.
KPU Pusat melakukan penghitungan hasil Pilkada Malut dan menetapkan pasangan Abdul Gafur-Aburrahim Fabanyo sebagai pemenang Pilkada Malut. Atas keputusan itu, Ketua KPUD Malut Rahmi Husen menggugat KPU Pusat ke Mahkamah Agung.
MA memutuskan penghitungan ulang hasil Pilkada Malut di tiga kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat. KPU Pusat selanjutnya memecat Ketua KPUD Malut Rahmi Husen karena dinilai telah melanggar ketentuan dan menunjuk Muchlis Tapi Tapi sebagai Plt Ketua KPUD Malut.
Rahmi Husen tak mengakui pemecatan itu. Pada Maret 2008, KPUD Malut tetap melakukan penghitungan ulang di Hotel Bidakara Jakarta, yang ikut dihadiri Ketua Pengadilan Tinggi Malut. Dalam penghitungan ulang itu yang dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Malut adalah pasangan Thaib- Gani.
Sementara itu, Plt Ketua KPUD Malut Muchlis Tapi Tapi yang ditunjuk KPU pusat juga pada bulan yang sama melakukan penghitungan ulang di Ternate, dan yang dinyatakan sebagai pemenang saat itu adalah pasangan Abdul Gafur-Aburrahim Fabanyo.
KPU pusat hanya mengakui hasil penghitungan ulang yang dilakukan Muchlis Tapi Tapi. Sedangkan yang dilakukan oleh Rahmi Husen dianggap ilegal karena tidak lagi sebagai Ketua KPUD Malut. Hasil penghitungan Rahmi maupun Muchlis Tapi Tapi sama- sama diserahkan ke DPRD Malut. Lembaga wakil rakyat ini pun terpecah dalam menyikapi kedua hasil penghitungan itu.
Sebanyak 20 anggota DPRD mendukung hasil Muchlis Tapi Tapi (yang memenangkan Abdul Gafur-Fabanyo), sedangkan 15 anggota lainnya mendukung hasil Rahmi Husen (memengkan Thaib Armayn- Abdul Gani. Kedua kubu di DPRD Malut itu sama-sama membuat rekomendasi ke Mendagri.
Mendagri kesulitan menyikapi masalah itu, sehingga akhirnya meminta fatwa kepada Mahkamah Agung. Mendagri bersama Menkopolhukam, Panglima TNI, dan Kepala Polri juga sempat ke Ternate untuk berdialog dengan berbagai pihak terkait masalah itu.
Pada Juli 2008, Mendagri kemudian menetapkan pasangan Thaib-Gani sebagai pemenang pilgub Malut. Penetepan itu mengundang aksi protes dari kubu Gafur-Aburrahim, termasuk sejumlah fraksi di DPR RI.
Protes itu mengakibatkan Keppres penetapan Thaib-Gani sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Malut tertunda. Tapi akhirnya Keppres itu keluar juga dan Mendgari melantik pasangan Thaib-Gani sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Malut.