REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Kabinet Mesir telah mengajukan pengunduran diri, kata seorang pejabat, Senin, ketika bentrokan berlangsung pada hari ketiga di Lapangan Tahrir Kairo antara polisi-tentara dan pemrotes yang menuntut perubahan demokratis. "Pemerintah Perdana Menteri Essam Sharaf mengajukan pengunduran diri kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (yang berkuasa)," kata juru bicara kabinet Mohammed Hegazy dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita MENA.
"Karena keadaan sulit yang dialami negara, pemerintah akan terus bekerja" sampai pengunduran diri itu disetujui, tambahnya.
Pemerintah mengungkapkan "penyesalan yang dalam atas kejadian-kejadian menyedihkan, dan berdasarkan atas hal ini, mereka mengajukan pengunduran diri (pada Minggu) kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata" (SCAF). Pengunduran diri Sharaf, jika disetujui, bisa mengacaukan pemilihan umum yang dijadwalkan berlangsung pada 28 November -- pemilu pertama sejak penggulingan Presiden Hosni Mubarak pada Februari.
Sharaf diangkat pada Maret dengan mendapat dukungan luas pemrotes, namun massa pemrotes sama yang membawanya ke Lapangan Tahrir untuk merayakan pengangkatannya itu lambat-laun menjadi pengecam sengitnya karena kelemahannya dalam menghadapi SCAF.
Ia mengabaikan seruan-seruan pengunduran dirinya dalam beberapa bulan terakhir ini, dengan mengatakan, ia akan tetap bekerja untuk mencapai tujuan revolusi. Namun, 10 bulan setelah penggulingan Mubarak, pemrotes terus mengecam keras pemerintah Sharaf dan dewan militer yang berkuasa, yang mereka tuduh berusaha mencengkeram kekuasaan.
Mesir dilanda pergolakan anti-pemerintah sejak 25 Januari. Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di negara itu, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.
Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.
Pergolakan di Mesir itu merupakan buntut dari demam demokrasi di Tunisia. Demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.
Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.
Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.