REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemberlakuan surut dalam Undang-Undang Perampasan Aset dinilai sesuai dengan konstitusi. Meski bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, RUU PA bisa mendapatkan pengecualian demi asas kepentingan publik yang lebih besar.
"Bisa dikecualikan seperti yang diatur dalam konstitusi,"ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febridiansyah, saat dihubungi di Jakarta, Senin (5/12). Menurutnya, pengecualian tersebut termaktub dalam Pasal 28 huruf J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Yakni dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Febri menjelaskan pembatasan tersebut bisa ditafsirkan sebagai pengecualian untuk pemberlakuan surut suatu Undang-Undang demi kepentingan publik yang lebih besar. Febri pun menyarankan agar asas pemberlakuan surut bisa dicantumkan dalam naskah akademik Undang-Undang tersebut. "Bisa dalam penjelasan Undang-Undang,"ungkapnya.
Febri mengusulkan agar tidak ada pembatasan waktu dalam pemberlakuan surut. Hal tersebut, ujarnya, agar RUU itu bisa berjalan dengan efektif sehingga harta hasil tindak pidana korupsi di masa lalu bisa masuk dalam kas negara.
Meski demikian, Febri menjelaskan agar Undang-Undang ini pun mengatur skala prioritas tentang kasus-kasus apa saja yang nantinya akan diburu usai pengesahan RUU tersebut. "Apakah BLBI atau harta mantan presiden Soeharto bisa diatur disitu,"jelasnya.