REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Forum Umat Islam (FUI) mempertanyakan rencana Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan daerah (Perda) tentang Minuman keras di sejumlah daerah.
“Itu keputusan yang mengherankan,” ujar Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam. Muhammad Al-Khatath saat dihubungi Republika, Sabtu (31/1), di Jakarta. Al-Khaththath mengatakan, keinginan Gamawan mengevaluasi Perda minuman keras patut dipertanyakan. Pasalnya, alasan Gamawan bahwa Perda tentang minuman keras bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1997 tidak bisa diterima akal.
Hal ini karena di atas Keputusan Presiden masih ada pijakan hukum yang lebih tinggi yakni Pancasila. Pancasila sebagai falsafah hukum tertinggi Indonesia menempatkan Tuhan Yang Maha Esa di sila pertama. Ini artinya, tidak boleh ada satu aturan hukum pun yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. “Upaya mencabut Perda miras bertentangan dengan Pancasila,” katanya.
Menurut Al-Khaththath, Islam sebagai agama yang meyakini keberadaan Tuhan Maha Esa menentang peredaran minuman keras di Indonesia. Dengan demikian, bila Gamawan bersikeras mengevaluasi Perda minuman keras di sejumlah daerah, dia bukan saja tidak menghormati umat Islam tetapi juga Pancasila. Lebih lanjut Al-Khaththath menyatakan, hampir di seluruh negara sekuler yang ada di dunia, hanya Indonesia yang tidak memiliki Undang-undang tentang minuman keras. “Undang-undang yang melarang minuman keras harus segera dibuat,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia berencana mengevaluasi Perda yang melarangan minuman keras. Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Walikota Tangerang, Mendagri secara jelas meminta Walikota mengusulkan proses perubahan Perda Nomor 7 tahun 2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Tangerang.
Alasannya, Perda tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 5 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Di mana dalam Keputusan Presiden tersebut minuman beralkohol golongan B (5-20 persen) dan C (20-55 persen) termasuk barang pengawasan.
Sedangkan minuman beralkohol golongan A (0-5%) tidak termasuk sebagai barang dalam pengawasan, dan karenanya merupakan barang yang bebas diproduksi, diedarkan, dan diperjualbelikan.