REPUBLIKA.Co.Id, Tindak pidana adalah perbuatan terlarang yang dijatuhi hukuman. Akan tetapi tindak pidana itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
* Berat ringannya hukuman
Berdasarkan berat ringannya hukuman, hukum pidana Islam mengenal tiga macam golongan kesalahan. Pertama tindak pidana hudud, yang sering diartikan sebagai hukum atau ketetapan Allah SWT. Orang yang melakukan tindak pidana ini akan dikenai hukuman sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, tidak bisa ditambah atau dikurangi.
Hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud merupakan hak Tuhan yang tidak bisa dihapuskan, baik oleh perseorangan yang menjadi korban tindak pidana itu sendiri maupun oleh masyarakat yang diwakili lembaga negara.
Dalam hukum Islam dikenal tujuh macam tindak pidana hudud, yaitu: zina, qazaf (menuduh orang berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, hirabah (orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya), murtad, dan orang yang memberontak terhadap penguasa yang sah.
Kedua, tindak pidana kisas dan diat (ganti rugi). Tindakan pidana ini berkenaan dengan kejahatan terhadap orang, seperti membunuh dan menganiaya. Bagi pelaku tindak pidana ini akan dikenai hukuman kisas atau diat dari individu yang menjadi korban. Kadar jumlah hukuman yang diberikan ditentukan oleh sang korban, namun tidak memiliki aturan batasan minimal ataupun maksimal.
Adapun tindak pidana kisas dan diat ini terbagi dalam lima macam, yakni: pembunuhan yang disengaja, pembunuhan yang menyerupai disengaja, pembunuhan tersalah, penganiayaan yang disengaja, dan penganiayaan yang tersalah. Penganiayaan yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang tidak sampai menghilangkan jiwa sang korban, seperti pemukulan dan pelukaan.
Ketiga, tindak pidana takzir. Berupa kejahatan yang tidak termasuk dalam hudud karena bentuk hukumannya diserahkan kepada kebijakan hakim. Istilah takzir ini bermakna memberikan pendidikan (pendisiplinan). Maksudnya adalah memberikan hukuman yang bertujuan mengoreksi atau merehabilitasi pelaku kejahatan.
Hukum Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap tindak pidana takzir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam hal ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan si pelaku. Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana takzir tidak mempunyai batasan tertentu.
Jenis tindak pidana takzir tidak ditentukan banyaknya, seperti halnya tindak pidana hudud dan kisas yang sudah ditentukan jumlah dan jenisnya. Hukum Islam sendiri hanya menentukan sebagian tindak pidana takzir, seperti riba, mengkhianati janji, memaki orang, dan menyuap.
Adapun sebagian besar dari tindak pidana takzir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya. Meski demikian, hukum Islam tidak memberikan wewenang kepada penguasa untuk dapat menentukan tindak pidana dengan sekehendak hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan ketentuan serta prinsip-prinsip umum hukum Islam.
* Berdasarkan niat pelaku
Dilihat dari niat pelakunya, tindak pidana terbagi menjadi tindak pidana disengaja (doleus delicten) dan tidak disengaja (culpose delicten). Dalam tindak pidana disengaja, si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya serta mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Sedang, dalam tindak pidana tidak disengaja, si pelaku sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatannya tersebut terjadi akibat kekeliruannya.
Tindak pidana disengaja menunjukkan adanya kesengajaan untuk berbuat tindak pidana dari si pelaku. Sedangkan pada tindak pidana tidak disengaja, kecenderungan untuk berbuat salah tidak ada. Itulah sebabnya, hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana disengaja lebih berat dari pelaku tindak pidana tidak disengaja.
* Berdasarkan waktu terungkapnya
Ada dua jenis tindakan pidana berdasarkan waktu terungkapnya, yaitu tindakan pidana yang tertangkap basah dan tindakan pidana yang tidak tertangkap basah. Tindak pidana yang tertangkap basah yaitu tindak pidana yang terungkap pada saat tindak pidana itu dilakukan atau beberapa saat setelah tindak pidana tersebut dilakukan. Sedangkan tindak pidana yang tidak tertangkap basah yaitu tindak pidana yang tidak terungkap pada saat tindak pidana tersebut dilakukan atau terungkapnya tindak pidana tersebut dalam waktu yang lama.
Menurut para fukaha (ahli fikih), tertangkap basah adalah terungkapnya pelaku tindak pidana pada waktu tindak pidana itu dilakukan. Dalam hukum Islam, tak ada larangan untuk menganggap adanya keadaan tertangkap basah. Hal ini karena tujuannya untuk mempermudah proses penyelidikan kebenaran.
* Berdasarkan cara melakukannya
Berdasarkan cara melakukannya, tindak pidana terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, tindak pidana positif dan tindak pidana negatif. Pembagian kelompok pertama ini didasarkan atas tinjauan apakah tindak pidana yang diperbuat itu terjadi berupa perbuatan nyata ataukah dengan sikap tidak berbuat, atau apakah perbuatan itu diperintahkan ataukah dilarang.
Tindak pidana positif terjadi karena melakukan suatu perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, zina, dan pemukulan. Sedang, tindak pidana negatif terjadi karena tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan, seperti seseorang yang tidak mau memberikan kesaksiaan atau tidak mau mengeluarkan zakat.
Kedua, tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal yaitu tindak pidana yang dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika maupun yang dilakukan secara terus menerus. Tindak pidana hudud, kisas, dan diat termasuk ke dalam kategori tindak pidana tunggal.
Sedangkan tindak pidana berangkai yaitu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang (berangkai). Perbuatan itu sendiri tidak termasuk ke dalam kategori tindak pidana, tetapi berulang-ulangnya perbuatan itulah yang menjadikannya sebagai tindakan pidana. Bentuk tindak pidana seperti ini banyak terdapat dalam tindak pidana takzir, di mana petunjuknya diperoleh dari ketentuan yang mengharamkan perbuatan tersebut.
Ketiga, tindak pidana terjadi seketika (temporal) dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama (nontemporal). Para fukaha tidak pernah membahas tentang tindak pidana yang terjadi seketika dan yang terjadi dalam waktu yang lama (secara terus-menerus). Alasannya, para fukaha hanya terfokus pada jenis tindak pidana: tindak pidana hudud, kisas, dan diat.
Ketiga jenis tindak pidana ini sudah tetap, di mana tindakan-tindakan yang mengakibatkan hukuman tersebut tidak akan mengalami perubahan. Demikian pula dengan hukuman yang telah ditentukan tidak akan berubah. Hudud, kisas dan diat adalah bentuk tindak pidana temporal. Tidak satupun yang tergolong tindak pidana nontemporal.
Sementara tindak pidana takzir, di kalangan fukaha ada yang menganggapnya sebagai tindak pidana temporal dan ada juga yang menganggpnya tindak pidana nontemporal. Walaupun demikian, para fukaha mengabaikan masalah ini karena lembaga legislatif telah diberi wewenang seluas-luasnya dalam memutuskan perkara tersebut.
* Berdasarkan karakter khususnya
Berdasarkan karakter khususnya, tindak pidana terbagi menjadi: tindak pidana yang menganggu masyarakat umum, tindak pidana yang menganggu individu, tindak pidana biasa, dan tindak pidana politik.
Tindak pidana masyarakat adalah suatu tindak pidana yang hukumannya dijatuhkan demi menjaga kepentingan (kemaslahatan) masyarakat, baik tindak pidana tersebut mengenai individu, masyarakat, maupun mengancam keamanan dan sistem masyarakat. Para fukaha berpendapat bahwa penjatuhan hukuman atas tindak pidana jenis ini menjadi hak Allah. Maksudnya, terhadap hukuman tersebut tidak ada pengampunan, peringanan, atau penundaan eksekusinya.
Tindak pidana perseorangan adalah suatu tindak pidana yang hukumannya dijatuhkan untuk memelihara kemaslahatan individu. Meskipun demikian, sesuatu yang menyentuh kemaslahatan individu otomatis menyentuh kemaslahatan masyarakat. Contohnya, tindak pidana pencurian dan qazaf (menuduh orang lain berbuat zina).
Sejak awal, syariah membedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana politik. Menurut hukum Islam, pemisahan ini untuk menjaga kemaslahatan dan keamanan masyarakat serta memelihara sistem dan eksistensi mereka. Karena itu, tidak semua tindak pidana yang diperbuat untuk tujuan politik disebut tindak pidana politik meskipun sebagian tindak pidana biasa yang diperbuat dalam kondisi politis tertentu disebut tindak pidana politik.
Tidak ada perbedaan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana politik dari aspek karakteristiknya. Keduanya sama dalam hal macam dan cara melakukannya. Hanya saja yang membedakan antara satu dan yang lain terletak pada motifnya. Tindak pidana politik dilakukan dengan niat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis atau yang memotivasinya adalah motivasi politis.
Adapun tindak pidana biasa memiliki motivasi yang biasa. Tetapi, tidak menutup kemungkinan beralih menjadi motivasi politis. Artinya, tindak pidana biasa terkadang terkontaminasi oleh tindak pidana politik.