REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Sebuah studi terbaru yang didasarkan pada wawancara dengan lebih dari 200 Muslim Amerika Utara menyimpulkan larangan "hukum syariah" dari sistem pengadilan merupakan reaksi berlebihan. Negara bagian Oklahoma, Tennessee, dan Louisiana baru-baru ini melarang hakim untuk mempertimbangkan hukum syariah.
Persoalan hukum syariah kembali mengemukan ketika capres Partai Republik, Newt Gingrich, menyerukan untuk melarang hukum federal syariah. Sementara rekan calon presiden partai Republik lainnya, Rick Santorum, mengatakan hukum syariah merupakan "ancaman eksistensial" bagi Amerika.
Penelitian kualitatif oleh University of Windsor yang dipimpin profesor hukum Julie MacFarlane mencoba menggali pandangan dari sisi umat Islam AS.MacFarlane mewawancarai 101 pria dan wanita Muslim, 41 imam dan tokoh masyarakat dan 70 profesional tentang penggunakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka.
MacFarlane meminta para responden apakah mereka berpikir pengadilan Amerika harus menerapkan hukum Islam dengan non-Muslim dalam sistem hukum. Semua dari mereka mengatakan tidak.
Tiga imam yang disurvei mengatakan mereka ingin pengadilan keluarga paralel dengan hukum Islam di mana Muslim bisa pergi untuk menyelesaikan masalah hukum mereka. Tapi ide ini tidak populer bagi responden lainnya, yang puas dengan sistem pengadilan yang terpisah dan sekuler.
Sampel penelitian itu tidak acak, dan temuan MacFarlane tidak digeneralisasikan untuk komunitas Muslim Amerika secara keseluruhan. Tetapi penelitian masih menawarkan tampilan langka ke sikap Muslim tentang syariah.
MacFarlane mulai penelitian setelah sekelompok kecil Muslim di Toronto mengajukan petisi kepada pemerintah pada 2003 untuk mendirikan sebuah pengadilan keluarga terpisah. Mereka meminta khusus untuk masalah keluarga, diberlakukan hukum syariah.
Kota ini sebelumnya sudah memiliki semacam pengadilan untuk Katolik dan Yahudi. Permintaan itu akhirnya ditolak - memicu protes di Kanada serta nun jauh di London, Wina, dan Paris.