REPUBLIKA.CO.ID, Tak hanya pada masa kini, lembaga perwakilan juga sudah dikenal pada masa-masa awal sejarah Islam. Hal itu setidaknya tergambar dari keberadaan sebuah lembaga yang disebut Ahlul Halli wal Aqdi.
Lembaga ini diartikan sebagai orang-orang yang berwenang mengambil suatu kebijakan dalam suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah. “Dalam pengertian bahasa, berarti orang yang melepas dan mengikat,’’ demikian diungkapkan dalam Ensiklopedi Islam, terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sedangkan, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam Fikih Politik—mengutip Imam Hasan Al-Banna—menyebutkan, terminologi Ahlul Halli wal Aqdi sering digunakan dalam buku-buku fikih politik dan fikih umum. Ia dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang bertindak sebagai penasihat dan konsultan dalam beragam urusan menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Nasihat-nasihat itu diputuskan secara mufakat ataupun didasarkan pada pandangan mayoritas. Para Ahlul Halli wal Aqdi tidak dikenal karena nama, tapi karena kriteria-kriteria mereka.
Setelah mendalami banyak referensi fikih, Imam Hasan Al-Banna berpendapat bahwa secara lahiriah, implikasi dari istilah Ahlul Halli wal Aqdi tertuju pada tiga pihak. Pertama, istilah itu merujuk pada para pakar fikih yang berijtihad, yakni mereka yang pendapatnya dijadikan sandaran dalam berbagai masalah perfatwaan dan penetapan hukum fikih.
Kedua, para tenaga ahli dan spesialis dalam urusan-urusan publik. Dan ketiga, orang-orang yang memiliki semacam kepemimpinan di tengah umat, misalnya, para ketua RT dan RW, tokoh masyarakat, atau pimpinan LSM dan organisasi.
Hasan Al-Banna menganggap orang-orang tersebut bisa dipilih melalui sistem pemilu yang matang dengan kriteria-kriteria yang sangat ketat. Bagi yang memenuhi syarat berhak untuk dicalonkan, sementara yang tidak memenuhi syarat tidak berhak dicalonkan dan dipilih. Menurut Ahmad Zain An-Najah dalam laman www.ahmadzain.com, Ahlul Halli wal Aqdi merupakan istilah baru karena tidak terdapat dalam Alquran dan sunah.