REPUBLIKA.CO.ID, Para filsuf Muslim di zaman klasik Islam dikenal sangat menghargai pemikiran dari tradisi filsafat Yunani sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
Alquran sendiri secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosofis itu. Di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai obyek pikirannya.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa para filsuf Muslim ini mengembangkan pemikiran para filsuf Yunani sedemikian rupa, sehingga tersedia ruang bagi tampilnya kebenaran asasi dalam Islam. Namun, yang kerap kali menjadi pertanyaan adalah bagaimana mempertalikan serta menyelaraskan pemikiran para filsuf Yunani ini dengan ajaran pokok Islam.
Oliver Leaman dalam bukunya yang bertajuk "Pengantar Filsafat Islam" memberi contoh pemikiran Plato dan Ibnu Rusyd. Dalam bukunya, Republic, Plato mengemukakan usul penggunaan berbagai metode yang berkepanjangan, tak kenal lelah, untuk mengajak manusia biasa atau awam agar bertingkah laku dengan cara tertentu.
Dia tidak menentang penggunaan cara, bahkan ketika kita harus bertindak dusta sekalipun untuk memberdayakan musuh atau orang gila. Menurut Plato, cara seperti itu bermanfaat untuk maksud-maksud pengobatan yang harus dikuasai oleh bukan orang sembarangan, tapi oleh seorang dokter. Seorang dokter dalam sebuah polis atau negara, tambah Plato, adalah seorang pemegang pemerintahan.
Analogi Plato ini juga seringkali dipakai oleh Ibnu Rusyd. Dalam bukunya, Comentary on Plato's Republic, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tindakan dusta yang digunakan oleh seseorang yang mengatur urusan negara terhadap orang-orang awam adalah benar dan tepat bagi mereka. Tindakan itu, kata dia, laksana obat bagi suatu penyakit.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, perbuatan dusta atau bohong dapat dipergunakan demi pencapaian kepentingan umum suatu negara oleh orang-orang pemerintah yang sadar bahwa mereka berbohong. Kadang-kadang lebih baik tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya kepada seseorang atau kelompok daripada menunjukkan kebenaran apa adanya.
Namun tipe dusta seperti ini, menurutnya, berbeda dengan sebuah cerita yang menjelaskan apa yang semestinya dapat dikatakan tanpa harus mengatakan apa yang sebenarnya dalam bentuk yang mudah dicerna. Cerita orang dalam gua (The Allegory of the Cave) adalah contoh baik bagi cerita seperti itu, seperti halnya cerita tentang beberapa lapisan jiwa manusia yang ada pada kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat.