Sabtu 18 Feb 2012 18:44 WIB

Nuruddin Mahmud Zanki: Raja Adil, Cahaya Agama (Bag 1)

Rep: Friska Yolandha/ Red: Heri Ruslan
Nuruddin Mahmud Zanki
Foto: wikimedia
Nuruddin Mahmud Zanki

REPUBLIKA.CO.ID,  Ia adalah seorang raja dan pemimpin yang zuhud. Makanan yang dikonsumsinya tak lebih baik dari hidangan orang paling miskin pada zaman itu.

Umat Islam lebih mengenal sosok Salahuddin Al-Ayubi, sebagai pemimpin tentara Muslim dalam Perang Salib. Padahal, di era Perang Salib II, dunia Islam juga memiliki sosok pejuang dan pemimpin yang tak kalah hebatnya dibanding Salahudin. Tokoh pembela agama itu dikenal dengan nama Nuruddin Zanki.

‘’Nuruddin merupakan seorang yang sangat berjasa dalam penyatuan negara-negara muslim dan penakluk tentara salib dalam Perang Salib Kedua,’’ ujar Syekh Muhammad Said Mursi dalam bukunya Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Ia dikenal sebagai seorang tentara pejuang yang menguasai teknik berperang, hingga mampu memukul mundur pasukan Tentara Salib.

Sejatinya, Nuruddin Mahmud Zanki memiliki nama lengkap Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin Imaduddin Zanki. Dalam darahnya mengalir  ningrat dari Dinasti Zanki yang menguasai Suriah pada 1146 M hingga 1174 M.  . ‘’Nama panggilannya adalah Abu Qasim dan ia dijuluki Nuruddin (Cahaya Agama) dan raja yang adil,’’ tutur Syekh Said Mursi.

Ayahnya bernama Imaduddin Zanki, penguasa Aleppo dan Mosul. Ketika ayahnya meninggal dunia, Nuruddin dan kakaknya, Saifuddin Ghazi I, membagi Kerajaan Zanki tersebut menjadi dua. Nuruddin menguasai Aleppo dan kakaknya menguasai Mosul. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai Khabur.

Tak lama setelah menduduki tahta raja, Nuruddin  memperluas wilayah kekuasaannya dan berhasil menaklukkan Kerajaan Antiokhia. Ia dan pasukannya  merebut beberapa istana di bagian utara Suriah. Pasukan yang dipimpin Nuruddin juga berhasil mematahkan serangan Joscelin II yang berupaya mencaplok Kerajaan Edessa, salah satu daerah kekuasaan  Nuruddin.

 

Ia terpaksa harus mengusir seluruh populasi Kristen dari kota tersebut sebagai hukuman karena mereka bersekutu dan membantu pasukan Jocelin II. Peristiwa itu terjadi pada Perang Salib I.  Pada 1147,  Nuruddin menandatangani perjanjian bilateral dengan Gubernur Damaskus, Mu’inuddin Unur.

Kebijakan itu dilakukannya untuk memperkuat hubungan dengan negeri tetangga di utara agar dapat melawan musuh mereka di Barat. Sebagai bagian dari kerja sama, ia menikahi anak perempuan sang gubernur. Setelah keduanya membangun aliansi, mereka menyerang kota Bosra dan Sarkhand. Kedua kota tersebut direbut oleh pengikut Mu’inuddin yang memberontak.

Lantara gagal merebut Kerajaan Edessa pada Perang Salib I, kerajaan-kerajaan Kristen dari Barat mulai melancarkan misi militer lewat Perang Salib II. Adalah Raja Prancis Louis VII, dan Raja Jerman Conrad III adalah tokoh yang memantik meletusnya  Perang Salib II. Mereka berambisi untuk kembali merebut wilayah yang telah ditaklukkan pasukan tentara Muslim.

 Namun, upaya mereka untuk menguasai wilayah Kristen di Suriah tak berjalan mulus. Pasukan Tentara Salib dihadapkan pada kekuatan militer tangguh yang dipimpin Nuruddin. Ambisi Raja Louis VII dan Conrad III pun tak kesampaian. Mereka gagal merebut Damaskus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement