REPUBLIKA.CO.ID, Setiap umat Islam tentu memiliki cita-cita dan keinginan untuk dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sejak kecil, bahkan keinginan itu sudah ada.
Begitu telah dewasa, sedikit demi sedikit, mereka akan mengumpulkan dana untuk menunaikan rukun Islam yang kelima tersebut.
Satu tujuan yang ingin dicapai, menyempurnakan rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji bila mampu. Bila kelima rukun Islam itu telah dikerjakan semuanya, maka rasa bangga akan muncul dalam diri seorang Muslim, karena bisa memenuhi semua kewajiban yang diperintahkan Allah.
Tujuan tertinggi yang diharapkan dari menunaikan ibadah haji itu adalah predikat haji mabrur, yakni haji yang diterima oleh Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR Muslim).
Besarnya pahala atau balasan yang dijanjikan itu, maka setiap Muslim akan berusaha semaksimal mungkin untuk menunaikan ibadah haji. Sebab, berhaji merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan, terutama bagi mereka yang telah mampu (istitho’ah). Baik materi (biaya), fisik (sehat, aman, dan ada transportasi), maupun non-fisik (memahami prosesi beribadah haji dan umrah).
Untuk itulah, ketika kesempatan itu telah datang, panggilan Allah telah diterima, dan kemampuan sudah ada, maka rasa syukur senantiasa dipanjatkan kepada-Nya atas segala karunia yang diberikan. Dan sebagai wujud rasa syukur itu, banyak calon jamaah haji yang menyelenggarakan syukuran, menyelenggarakan selamatan setelah datang berhaji, atau walimatus safar menjelang keberangkatan.
Bagaimanakah hukum menyelenggarakan syukuran, selamatan haji, atau walimatus safar tersebut menurut agama Islam? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Ada yang membolehkan, namun tak sedikit yang menganggap makruh, bid’ah (sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW), dan bahkan menganggapnya haram.
Mengadakan walimatus safar atau syukuran sebelum keberangkatan haji, tidak ada dalil yang menerangkannya, baik dalam Alquran maupun hadits Nabi SAW. Apakah ini bid’ah?
Sesuatu amalan yang dikerjakan tanpa dasar dianggap bid’ah. Namun demikian, bukan berarti semua bid’ah itu sesat. Faktanya ada ulama yang menyatakan bid’ah itu terbagi dua, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dhalalah (sesat).
Walimatus safar, bila tujuannya baik, yakni sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah sehingga bisa melaksanakan ibadah haji, maka hal ini sangat dianjurkan. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7).