REPUBLIKA.CO.ID, Menunaikan ibadah haji menjadi dambaan setiap umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun remaja. Bahkan, tak jarang anak usia di bawah 10 tahun pun diajak serta.
Melaksanakan ibadah haji merupakan perintah Allah yang termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 97. “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Sebagaimana penjelasan surah Al-Maidah ayat 97, berhaji adalah kewajiban bagi setiap Muslim, khususnya mereka yang sudah mampu pergi ke Baitullah (Ka’bah).
Syarat mampu di sini, sebagaimana pendapat mayoritas ulama adalah kemampuan dari segi materi (biaya), sehat, aman, dan ada alat transportasi. Sebagian ulama lainnya menambahkan syarat kemampuan, memahami prosesi manasik haji dengan baik dan benar.
Setiap tahun, jumlah umat Islam yang menunaikan ibadah haji mencapai jutaan orang. Dari Indonesia jumlahnya pada tahun 2011 lalu sekitar 221 ribu orang. Sebagian besar jumlahnya adalah perempuan. Baik yang berangkat bersama orang tua, suami, saudara, atau lainnya. Namun, sebagian lainnya tanpa ada pendamping, alias tidak ada mahramnya. Bagaimanakah hukumnya perempuan yang berhaji tanpa didampingi mahramnya?
Dalam sebuah riwayat, Rasul SAW memuji seorang perempuan yang tidak keluar dari rumah, bila tidak ada izin dari suaminya. Bahkan, banyak riwayat yang mengharamkan seorang perempuan keluar rumah tanpa izin suaminya. Jangankan untuk berhaji yang memerlukan biaya besar dan keamanan yang terpelihara, keluar rumah pun ada aturannya.
Apakah alasannya hingga bila keluar rumah harus bersama suami atau ada sanak familinya? Sebab, bila tanpa ada pendamping yang terdekat dengannya, dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bagi dirinya, dan keamanannya pun tidak terjamin. Jadi, kalaupun harus atau terpaksa keluar rumah, maka hendaknya disertai dengan pendamping atau keluarganya yang terdekat.
Karena itu, pengharaman tersebut bukan karena semata-mata kepergiannya (safar), tapi pendamping (mahram), demi menjaga keamanan diri si perempuan agar terhindar dari fitnah.
Persoalannya kemudian, jika kita percaya perjalanan (haji) itu aman, karena si perempuan juga tidak sendirian—sebab ia bersama rombongan yang bisa menjamin keamanannya—apakah tetap diharamkan?