REPUBLIKA.CO.ID, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa.” Demikian kata pepatah.
Hal ini menunjukkan, betapa besarnya peranan seorang ibu dalam mengasihi dan mendidik anak-anaknya. Bahkan, bila dibandingkan dengan ayah, peran ibu jauh lebih besar dalam mendidik anak-anaknya.
Hal ini ditegaskan Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya yang berasal dari pertanyaan seorang sahabat. “Ya Rasul, siapakah orang yang harus aku hormati di dunia ini.” Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” “Kemudian lagi, ya Rasul,” tanya orang itu. “Rasul menjawab, “Ibumu.” Lalu, laki-laki itu bertanya lagi; “Kemudian, setelah itu siapa, ya Rasul?” “Bapakmu,” jawab Rasulullah.
Hadits di atas menegaskan betapa pentingnya setiap anak memberikan rasa hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Sebab, kasih sayang yang diberikan seorang ibu, melebihi sayangnya terhadap yang lain.
Mereka rela berkorban harta, jiwa, dan raga, demi si buah hati yang dicintainya. Mereka rela merasakan panasnya matahari di siang hari, dan dingin di waktu malam, tanpa pernah lelah untuk melindungi anak-anaknya.
Bahkan, di saat anaknya sakit, ibu senantiasa terjaga. Dengan rajin, ibu memberikan obat, menyuapkan makanan, mengganti popok, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukannya tanpa kenal rasa lelah. Bahkan rasa kantuk sekalipun, ia kalahkan ketika mendengar si buah hatinya menangis.
Ada sebuah kisah yang diriwayatkan dari Jabir. Di zaman Rasulullah, ada seorang pemuda mengadukan ayahnya kepada Nabi SAW, karena si ayah mengambil harta milik anaknya itu. Rasul memerintahkan supaya ayah si anak tersebut dipanggil. Ketika berada di hadapan Rasulullah SAW, ditanyakanlah hal itu. “Mengapa engkau mengambil harta anakmu,” tanya beliau.
“Tanyakan saja kepadanya, ya Rasul. Sebab, uang itu saya nafkahkan untuk saudara-saudaranya, paman-pamannya dan bibinya,” jawab orang tua itu.
Rasulullah kemudian bertanya lagi, “Ceritakanlah apa yang ada dalam hatimu dan tidak didengar oleh telingamu.”
Maka berceritalah si ayah ini. “Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah lantaran sakit dan deritamu. Aku tak bisa tidur dan resah, bagaikan akulah yang sakit dan bukan kau yang menderita. Lalu air mataku berlinang-linang dan meluncur deras. Hatiku takut engkau disambar maut. Padahal aku tahu, ajal pasti akan datang. Setelah engkau dewasa dan berhasil mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman. Seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan. Sayang, kau tak mampu penuhi hak ayahmu. Kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu, seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang benar sudah dipasrahkan.”
Mendengar hal ini, maka Rasulullah pun langsung memerintahkan kepada si anak, untuk memberikan hak orang tuanya.