REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kalangan pengamat ikut bersuara menanggapi sengketa pembelian tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Meski masih ada perbedaan pendapat, kalangan pengamat mengimbau agar tak ada campur tangan swasta dalam kepemilikan saham NNT kemudian.
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, tak berkomentar banyak. Ia mengatakan akan segera menggelar rapat koordinasi dengan Menko Kesra, Menko Polhukam, dan lembaga terkait untuk menertibkan persoalan tambang di Nusa Tenggara Barat.
Widjajono mengatakan dalam peraturan baru, pemerintah mewajibkan perusahaan tambang wajib mendivestasikan sahamnya minimal 51 persen kepada mitra Indonesia, seperti yang dilakukan Newmont.
Mitra Indonesia tersebut bisa pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara (BUMN), dan perusahaan swasta. "Pemerintah pusat dan daerah menempati prioritas pertama. Sedangkan swasta menjadi prioritas terakhir," kata Widjajono.
Praktik pertambangan, kata guru besar ITB itu, juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, jika masyarakat NTB tak menghendaki praktik pertambangan di daerahnya, maka kegiatan itu tak boleh dilakukan. Kesejahteraan masyarakat di daerah eksploitasi pertambangan wajib meningkat.
Hasil pertambangan, kata Widjajono, seharusnya tak dinikmati oleh elite pemerintah daerah. Berdasarkan otonomi daerah, pemerintah provinsi memperoleh 16 persen. Berikutnya kabupaten penghasil (32 persen), kabupaten sekitar (32 persen), dan pemerintah pusat (20 persen) dari royalti pertambangan.
Tetapi kalau masyarakat memang tidak membutuhkan pertambangan untuk meningkatkan ekonominya, maka yang berwenang untuk menghentikan dan mencabut izin pertambangan adalah kepala daerah. Hal itu sesuai dengan kewenangan yang diberikan.