REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Suahasil Nazara menilai Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang akan rencananya diberikan pemerintah kepada rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, perlu dilakukan. Pasalnya, meski BLT sifatnya hanya jangka pendek dan bukan program menurunkan kemiskinan, namun dalam kondisi gejolak ekonomi saat ini BLT harus diluncurkan.
"Program ini kuncinya harus dipakai sementara. Pemerintah perlu tinjau bentuk kompensasi lainnya," kata Suahasil dalam diskusi Dampak dan Mitigasi Subsidi BBM di Jakarta, Senin (19/3).
Bentuk kompensasi lainnya, seperti raskin, subsidi siswa miskin, dan jaminan kesehatan masyarakat dinilainya harus lebih besar porsinya dan tepat sasaran. Misalnya proporsi beras dan makanan mengambil 65 persen dalam menentukan garis kemiskinan. Sedangkan biaya transportasi hanyalah tujuh persen. Artinya, dampak kenaikan biaya transportasi terhadap kesejahteraan penduduk miskin tak besar.
Suahasil menilai wajar jika BLT digunakan rumah tangga (RT) untuk membayar hutang sebab itu merupakan siasat RT ketika krisis. "Just give the money to the poor, RT miskin itu tahu cara memperlakukan uangnya" kata Suahasil.
Hasil penelitian menunjukkan, beberapa cara RT menyiasati ekonomi keluarganya saat terjadi krisis ada tiga. Di antaranya berhutang (32,1 persen), menjual atau menggadaikan aset (15,3 persen), dan mengurangi pengeluarannya (168 persen).
Ada kesalahan persepsi publik dalam menyikapi BLT. Di antaranya BLT diluncurkan karena mendekati pemilihan umum, hingga BLT diluncurkan karena harga BBM naik. Logikanya, ada refleksi kenaikan harga perekonomian yang harus dilindungi, maka negara butuh BLT.