REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah ajukan perubahan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi mengakui telah mengusulkan perubahan UU Pemda. Salah satunya dengan mengubah tata cara pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Menurutnya, perubahan dan perbedaan cara pemilihan kepala daerah akan mampu menekan korupsi tingkat daerah. “Sekarang saja, ada 173 kepala daerah sudah dikeluarkan izin pemeriksaan oleh presiden karena korupsi,” katanya, Rabu (4/4).
Ia mengatakan pemilu yang selama ini digelar di daerah terlalu mahal. Bahkan, seorang calon bisa mengeluarkan miliaran rupiah untuk ikut dalam pertarungan demokrasi. “Itu sangat mahal dan efeknya sangat banyak,” katanya.
Dalam proses itu pula, tak jarang awal terjadinya korupsi. Misalnya, lanjut dia, pemilihan gubernur menggunakan kendaraan politik dan dari situ biaya yang dikeluarkan tak sedikit. Belum lagi, tim sukses calon yang juga perlu biaya, cakupan wilayah yang luas, hingga biaya operasional.
“Sudah berapa banyak cost yang dikeluarkan? Itu contoh sederhananya saja. Karena itu, kita ingin bagaimana pilgub ini makin efisien dengan membuat aturan yang memperketat dan melakukan pembatasan,” katanya.
Tak hanya alasan itu, Gamawan juga menilai revisi UU Pemda juga didasari banyaknya pasangan kepala daerah yang pecah kongsi. Dari data Kemendagri, pada 2010-2011 tercatat ada 6,15 persen pasangan kepala daerah yang tidak bersama lagi pada periode berikutnya. Bahkan tak jarang, kepala daerah dan wakilnya justru berkompetisi di periode berikutnya sehingga di tengah jalan kepemimpinana mereka sudah mengalami kerenggangan,
“Jadi, sekarang kita tawarkan pemilihan sendiri saja, tidak pakai wakil. Setelah kepala daerahnya terpilih baru ajukan wakilnya. Artinya tidak satu paket lagi,” katanya.
Pihaknya juga mengajukan agar pada pilkada tidak mewajibkan adanya wakil. Hal ini bisa dilihat dari pendekatan secara geografis. Gamawan mencontohkan kawasan Papua yang pendudukanya hanya 6 ribu dianggap tak perlu memiliki wakil. Beda halnya dengan, misalnya, Jawa Timur yang memiliki lebih dari 43 juta jiwa. Untuk kawasan padat penduduk, bisa saja wakilnya justru tak hanya satu saja.
“DKI Jakarta dulu saja pernah ada tiga wakil gubernur,” katanya.