REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK - Detasemen pertama tentara AS yang berjumlah 200 tentara tiba dari Hawaii di Robertson Barracks, Australia, Selasa dini hari (3/4). Namun, penempatan tentara negeri Paman Sam tersebut dinilai mengancam posisi pertahanan militer Indonesia.
"Kalau mereka untuk Indonesia, mereka akan berada di atas Indonesia, atau di bawah Australia, Melbourne atau di Perth," ujar Ketua Dewan Direktur Lingkar Sabang-Marauke, Syahganda Nainggolan, usai peresmian Pusat Studi Papua, di Fisip UI, Senin (9/4).
Bahkan Syahganda menilai, penempatan personel tambahan perang tersebut, terkait dengan renegoisasi PT Freeport dan Pemerintah Indonesia, yang semestinya usai dibahas pada Desember 2011 kemarin.
Lebih jauh Syahdan menduga, keberadaan militer AS di Darwin dimungkinkan untuk mendukung gerakan separatis Papua Merdeka (OPM), terkait, renegoisasi yang sampai saat ini belum mencapai kesepakatan antar pihak. "Kalau dia (tentara AS-red) di situ (Darwin-red) pasti untuk OPM (Organisasi Papua Merdeka-red)," ujar Syahganda meyakinkan.
Pengamat politik ini menambahkan, posisi keamanan Indonesia akan semakin terjepit, andaikan Cina merealisasikan rencanya untuk membangun armada militernya di Timor-timur. "Seandainya Cina nanti jadi membuka pangkalan militernya di East Timor (Timor-timur-red), maka Indonesia akan berada di posisi gawat," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah AS akan menempatkan 2500 tentaranya secara bertahap sampai 2016 mendatang, di Darwin-Australia, sebagai bagian dari persetujuan bilateral antara AS dan Australia.