REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif LSM Suluh Nusantara, Stefanus Gusma, mengingatkan, pemerintah bahwa pertarungan pengaruh antara Amerika Serikat dengan RRC di kawasan Asia Tenggara tidak akan pernah menguntungkan Indonesia.
"Amerika dan Cina sedang berebut menjadikan Indonesia sebagai anak manisnya yang mereka tahu bahwa Indonesia punya peran strategis di kawasan Asia Tenggara," ujar Stefanus Gusma kepada pers di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, rencana penempatan sekitar 2.500 pasukan marinir Amerika di Fort Robertson, Darwin, Australia, yang berjarak hanya 820 km dari perbatasan Indonesia-Australia, itu sesungguhnya dimaksudkan untuk membendung rencana Cina yang akan membangun pangkalan militernya di Timor Leste.
Dikatakannya bahwa isu itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena Amerika sendiri telah memilki beberapa pangkalan militernya di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi fakta-fakta itu harus tetap menjadi tanda tanya tersendiri bagi Indonesia.
Dia juga mempertanyakan ada target apa Amerika dan Cina harus selalu memantau dan berada di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. "Jawabannya tidak lain adalah terkait eksploitasi kekayaan alam Indonesia seperti minyak di Cepu, emas dan uranium di Freeport dan kekayaan mineral lain yang saat ini dikuasi oleh asing," ujarnya.
Lebih lanjut dia menuturkan bahwa sebagai negara yang berdaulat, Indonesia seharusnya mempunyai posisi tawar diplomasi yang tinggi dalam segala bentuk hubungan internasional. Tetapi fakta empirisnya Indonesia sudah terjebak dalam perangkap globalisasi internasional dalam bentuk perjanjian?perjanjian yang merugikan kepentingan nasional.
Ditambah lagi ternyata sampai saat ini Indonesia tidak pernah memperbaharui strategi pertahanan dan penguatan paradigma posisi tawar diplomasinya. "Kita masih sangat disibukkan dan phobia dengan isu-isu bahaya laten komunisme dan bahaya laten negara Islam yang faktanya isu itu telah dijaga oleh Pancasila," paparnya.
Terkait hal itu, Suluh Nusantara menyarankan segera ada konsolidasi kepemimpinan dan terobosan politik untuk merubah kondisi tersebut. Diplomasi yang cerdik harus menjadi ujung tombak dalam memperjuangkan kepentingan bangsa karena Indonesia adalah negara besar dan kaya yang di segani oleh semua bangsa. "Jadi bukan malah diplomasi yang hanya menguntungkan kelompok pemburu rente dalam negeri dan kepentingan asing," katanya.