REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Friska Yolandha
Menurut sebuah versi, Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, India sekitar abad ke-13 M. Ketika Islam masuk ke Indonesia perdagangan rempah-rempah masih didominasi oleh Cina dan Arab. Para pedagang ini merajai jalur perdagangan yang penting seperti pesisir Sumatra, semenanjung Malaya, Jawa, dan Maluku.
Di Indonesia bagian timur, Islam mampir lebih dulu ke Maluku sebelum menyebar ke Makassar dan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Ketika Portugis datang ke kepulauan itu pada 1512 M, Islam telah tersebar di Maluku. Raja Ternate, salah satu kerajaan terbesar di Maluku, Bayang Ullah telah memeluk Islam.
Diperkirakan, Islam mulai bersemi di Maluku pada tahun 1400-an. Hal ini dibuktikan dengan sebuah masjid yang berdiri selama tujuh abad di Pulau Ambon. Masjid yang terletak di kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah ini merupakan satu bukti sejarah yang menandai perkembangan Islam di Provinsi Seribu Pulau tersebut.
Masjid itu didirikan pada 1414 dan hingga hari ini masih kokoh berdiri. Awalnya masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di lereng Gunung Wawane oleh keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloko Kie Raha (empat gunung Maluku), Pernada Jamilu. Kini, orang-orang biasa menyebutnya Masjid Wapauwe.
Masjid yang masih dipertahankan bentuk aslinya itu berdiri di atas tanah yang disebut Teon Samaiha oleh warga setempat. Letaknya di antara permukiman penduduk Kaitetu dan bentuknya sangat sederhana. Arsitekturnya sangat unik dan bersifat elementer. Masjid ini dibangun tanpa paku yang menyatukan setiap bagian-bagiannya sehingga dapat dibongkar-pasang. Untuk menyambungkan setiap bagian bangunan, perancangnya hanya menggunakan pasak kayu. Konstruksi ini memungkinkan masjid dapat dipindah-pindahkan.
Bentuk masjid ini seperti bujur sangkar dengan ukuran hanya 10 x 10 meter. Ketika pertama kali didirikan masjid ini tidak memiliki serambi. Dalam renovasi dilakukan penambahan serambi yang memiliki ukuran 6,35 x 4,75 m. Dinding masjid ini dibuat dari gaba-gaba, yaitu pelepah sagu yang dikeringkan. Pada renovasi setengah dinding dibuat dengan campuran kapur.
Mihrab masjidnya berukuran 2x2 meter seperti umumnya masjid di Jawa dan Bali. Mimbar masjid terbuat dari kayu yang bentuknya seperti kursi. Ukurannya cukup tinggi sehingga mimbar ditambahi anak tangga. Pada bagian atasnya dihiasi lengkungan dan ukiran kayu. Bedug terbuat dari gelondongan kayu utuh dengan diameter 2 m. Bedung diikat dengan rota dan digantung pada balok di atasnya.
***
Pada bagian dalamnya terdapat ciri khas bangunan joglo, yaitu saka guru. Saka guru adalah empat pilar yang terletak di tengah bangunan tradisional Jawa. Atapnya juga dipengaruhi oleh bangunan Jawa, yaitu berupa atap tajug bertingkat. Saka guru menggunakan kayu dengan ukuran 22 x 22 cm persegi. Di atas saka guru terdapat atap piramida dengan kemiringan yang cukup tajam, lalu diikuti di bawahnya dengan atap yang kemiringannya landai, persis seperti atap bangunan tradisional Jawa. Atapnya dibuat dari daun rumbia. Puncak menara terbuat dari kayu yang berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding.
Di antara atap di atas dan atap yang di bawah terdapat lubang jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Bagian paling bawah atapnya menjorok ke luar dan membentuk sebagian dari elips seperti daun. Di setiap ujungnya terdapat ukiran bertuliskan kata ‘’Allah’’ dan ‘’Muhammad’’.
Di dalam masjid ini tersimpan mushaf Alquran yang diperkirakan menjadi mushaf tertua di Indonesia. Mushaf tersebut adalah ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy dan selesai pada 1550. Mushaf ini ditulis tanpa iluminasi. Di masjid ini juga terdapat Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada 1590 tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Mushaf kedua ini ditulis oleh cucu Imam Arikulapessy.
Karya Nur Cahya lain yang terdapat di masjid tersebut adalah Kitab Barzanzi, yaitu syair pujian kepada Rasulullah SAW; sekumpulan naskah khotbah seperti naskah khotbah Jumat pertama Ramadhan 1661, kalender Islam tahun 1407 M, dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Semua peninggalan sejarah tadi menjadi pusaka Marga Hatuwe yang tersimpan di rumah pusaka Hatuwe, yang berjarak 50 m dari Masjid Wapauwe. Rumah pusaka ini dijaga oleh keturunan ke-12 Imam Muhammad Arikulapessy, Abdul Rachim Hatuwe.
Masjid Wapauwe berada di daerah yang memiliki banyak peninggalan sejarah. Sekitar 150 meter dari masjid terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Gereja yang terletak di sebelah utara masjid ini hancur akibat konflik agama di Ambon pada 1999 lalu. Sementara itu sebuah benteng tua “New Amsterdam” berdiri 50 meter dari gereja. Benteng peninggalan Belanda ini awalnya adalah loji Portugis yang menjadi saksi perlawanan pejuang Tanah Hitu dalam Perang Wawane (1634-1643) dan Perang Kapahaha (1643-1646).
***
Karena kedatangan Belanda ke tanah itu pada 1580, membuat masjid Wapaue sempat mengalami perpindahan tempat. Sebelum pecahnya Perang Wawani Belanda sudah mengganggu kenyamanan penduduk di lima kampung di kecamatan tersebut dalam beribadah. Karena fleksibilitasnya masjid ini dipindahkan ke Kampung Tehala yang terletak 6 km di timur Wawane pada 1614.
Ketika masjid tersebut dipindahkan ke Kampung Tehala, bangunan itu direkonstruksi di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan (mangga berabu), yang dalam bahasa Kaitetu disebut dengan wapa. Hal itulah yang menyebabkan masjid ini berganti nama menjadi Masjid Wapauwe, yang berarti masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.
Pada 1646, Belanda menguasai seluruh Tanah Hitu. Belanda kemudian melakukan penurunan penduduk dari daerah pegunungan, termasuk lima kampung di wilayah Wawane. Pada 1664 ditetapkanlah berdirinya Negeri Kaitetu.
Masjid Wapauwe mengalami renovasi beberapa kali. Pertama kali masjid ini direnovasi oleh pendirinya, Jamilu pada tahun 1464 tanpa mengubah bentuk aslinya. Meskipun mengalami dua kali pemindahan, bangunan asli tetap dipertahankan. Renovasi kedua dilakukan pada abad ke-19 M dengan penambahan seambi depan di bagian timur masjid.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, masjid ini mengalami perbaikan besar-besaran. Yang pertama terjadi pada Desember 1990 hingga Januari 1991 dengan mengganti 12 tiang kolom penunjang dan balok penopang atap.
Pada 1993 dilakukan renovasi dengan mengganti balok penadah kasau dan bumbungan, namun tidak mengganti empat tiang sebagai kolom utama. Pada 1995 juga sempat juga terjadi renovasi masjid, yaitu penggunaan semen PC pada atap masjid yang sebelumnya hanya menggunakan kerikil. Pada 1997, masjid yang tadinya beratapkan seng diganti menjadi atap nipah. Atap ini diganti setiap lima tahun sekali.
Meskipun telah mengalami beberapa kali pemindahan dan perbaikan, arsitektur inti Masjid Wapauwe tetap dipertahankan, sehingga masjid ini menjadi situs sejarah paling penting di Maluku. Masjid yang sampai hari ini masih digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.