REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, M. Yusuf, mengungkapkan transaksi mencurigakan seharusnya dipungut pajak. Menurutnya, pajak tersebut akan berguna bagi negara untuk menambah anggaran pendidikan dan kesehatan.
Yusuf menjelaskan hingga saat ini, PPATK berhasil menghimpun sekitar 11 juta Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Jika satu transaksi bernilai Rp 1 Miliar, tuturnya, maka akan terdapat Rp 10 ribu Triliun.
"Kalau dikenakan pajak 15 persen saja, maka tidak akan ada anak-anak kita yang kesulitan untuk sekolah dan berobat," tegas Yusuf saat membuka seminar bertajuk Efektifitas Penggunaan No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang dalam Upaya Pemiskinan Koruptor di Gedung PPATK, Jakarta, Senin (16/4). Terlebih, tutur Yusuf, jika nilai tersebut diinvestasikan sehingga hasilnya akan berkembang.
Untuk itu, Yusuf mengusulkan kalau Laporan Hasil Analisis PPATK bisa diakses pula oleh Dirjen Pajak selain oleh penegak hukum. Menurutnya, hal tersebut bisa menumbuhkan check and balance dalam tindak lanjut LHA.
Yusuf mencontohkan PPATK pernah mengaudit transaksi senilai Rp 103 Triliun untuk level Jakarta. Menurutnya, terdapat transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 20 Miliar. Jika dikenakan pajak untuk transaksi mencurigakan tersebut, tuturnya, maka negara dapat mengambil sekitar Rp 2 Miliar untuk pajak.
Meski demikian, Yusuf memberi catatan bahwa pemerintah harus menaikkan tingkat kesejahteraan penegak hukum termasuk hakim dan jaksa. Menurutnya, peran mereka berkontribusi positif dalam menambah pendapatan negara dari tindak pidana pencucian uang. Selain itu, untuk memastikan tidak adanya peluang korupsi, maka negara harus memberikan renumerasi dengan nilai yang layak.