REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Fuad Nasar MSc
Allah SWT telah memberikan rambu-rambu yang tegas menyangkut dasar-dasar moral dan etika dalam membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Hal ini ditegaskan dalam QS an-Nur [24]: 19, yang memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak menyebarkan berita-berita buruk. Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan umat Islam untuk tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang tidak sehat, prasangka, ghibah, dan segala bentuk kekejian lainnya.
Sejalan dengan itu, dalam ayat 12 surah al-Hujurat [49] Allah menetapkan larangan bagi orang-orang yang beriman untuk berprasangka negatif terhadap orang lain. Karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Selain itu, orang yang beriman juga dilarang mencari-cari keburukan orang lain dan menggunjingkannya. Alquran menganalogikan orang yang suka bergunjing itu seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang telah meninggal.
Begitulah cara Islam menjaga kehormatan sesama manusia dengan larangan memberi malu orang lain dan menyiarkan aib seseorang. Meskipun mungkin dari sudut pandang ekonomi berita-berita gosip mendatangkan keuntungan bagi media, tetapi dari segi moral dan psikologi masyarakat jelas hal itu merugikan.
Sudah menjadi sunatullah dalam masyarakat bahwa suatu kejahatan dan keburukan yang diekspose akan tumbuh makin subur. Di sinilah kita meyakini hikmah larangan Allah untuk tidak menyiarkan aib dan keburukan sesama manusia.
Berita pornografi, sadisme, perkosaan, dan berbagai tindak kejahatan lainnya yang tumbuh di masyarakat adalah untuk ditindak dan dibasmi, bukan sebaliknya menjadi tuntunan bagi masyarakat untuk turut meniru dan melakukannya. Berita itu harusnya menjadi filter bagi setiap pribadi Muslim untuk mengambil hikmah, agar senantiasa berbuat yang terbaik.
Berita-berita buruk seperti perselingkuhan, kejahatan seksual, pembunuhan, dan perampokan, jelas meninggalkan bekas mendalam pada masyarakat. Sadar atau tidak, tersiarnya berita buruk, apalagi disajikan berulang-ulang, dapat membangkitkan pikiran bawah sadar orang yang rusak akhlaknya untuk melakukan perbuatan yang sama.
Larangan dalam agama tidak hanya terhadap perbuatan menyiarkan berita buruk, tapi juga orang yang suka dirinya diekspose sebagai bahan berita buruk diperingatkan risikonya.
“Seluruh umatku dapat diampuni dosanya, kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan dosa. Dan, termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan itu adalah seseorang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari sampai paginya Allah menutupi (rahasianya), tapi kemudian ia sendiri yang membuka (rahasianya) dan berkata, “Tadi malam saya melakukan perbuatan ini dan itu.” Dia sengaja membukakan sesuatu yang oleh Allah telah ditutupi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tugas seorang Muslim bukanlah mencari kelemahan dan keburukan orang lain. Tetapi, mengajak orang lain agar berbuat kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran. Meredam berita buruk tentu bukan untuk melindungi keburukan dan pelakunya, melainkan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh keburukan yang merusak. Wallahu a’lam.