REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Israel diprediksi bakal memasuki krisis energi serius setelah Mesir membatalkan pasokan gas alam jangka panjang. Tak pelak, pembatalan itu pun mendapat tentangan keras dari para pejabat Israel.
Menteri Keuangan Israel, Yuval Steinitz salah satunya. Ia menyatakan 'keprihatinan mendalam' tentang pembatalan pasokan gas Mesir ke Israel. Ia menyebut, berhentinya pasokan gas Mesir ke Israel bakal menyebabkan kekurangan energi serius di seluruh negeri Israel.
EGAS, perusahaan gas nasional Mesir pada Ahad mengumumkan membatalkan kesepakatan jangka panjang untuk memasok gas ke Israel. Kesepatakan pemasokan gas itu ditandatangani bersama dengan perjanjian perdamaian antara kedua pihak pada 1979 silam.
Menurut media lokal, alasan di balik pembatalan tersebut, EGAS mengatakan perusahaan Ampal-American Israel Corporation, mitra dalam Perusahaan Gas Mediterania Timur (EMG), telah mensabotase terus menerus terhadap pipa lintas perbatasan yang telah berlangsung sejak penumbangan Hosni Mubarak pada Februari 2011.
"Ini adalah preseden berbahaya yang mengurangi semangat perjanjian perdamaian," kata Steiniz.
Tak hanya Steiniz, pemimpin oposisi Shaul Mofaz juga menentang pembatalan tersebut. "Ini adalah peringkat rendah baru dalam hubungan antara kedua negara dan jelas melanggar perjanjian damai," kata Mofaz kepada harian The Jerusalem Post.
Para pejabat senior memperingatkan pembatalan kesepakatan gas bisa menyebabkan kekurangan energi musim panas ini, meskipun Menteri Energi dan Air Uzi Landau mengatakan, "Israel bekerja untuk memperkuat kebebasan dalam kaitan kebutuhan energinya," sebut dia.
Untuk diketahui, kesepakatan ekspor gas pada 2005 mewajibkan Mesir memasok gas ke Israel. Kewajiban itu ada dalam salah satu pasal utama dari perjanjian perdamaian pada 1979 silam yang disponsori kedua pihak. Sejalan dengan kesepakatan ekspor 2,5 miliar dolar (Rp 22,5 triliun), Israel akan menerima sekitar 40 persen dari pasokan gas Mesir dengan harga sangat murah.