REPUBLIKA.CO.ID,Dunia jarang jadi tempat yang dengan senang hati di akrabi para metalhead. Pendapat mereka, selaksa peraturan, kemunafikan pemerintah, perang-perang yang tak kunjung selesai, serbuan budaya populer yang meninabobokkan nalar, dan kehidupan yang mapan, tak bisa ditoleransi.
Tak heran, dengan keadaan zaman sekarang, banyak yang menilai komunitas metal sejenis makhluk yang terancam punah. Berulang kali orang-orang menasbihkan "rock is dead." Tapi, apa yang nampak di Lapangan D Senayan, Jakarta sepanjang 28 April lalu membuktikan sebaliknya. Komunitas ini, masih hidup, segar bugar, dan baik-baik saja.
Pagelaran Hammersonic, Jakarta International Metal Festival, 2012, tak sekedar berhasil mengumpulkan ribuan manusia yang doyan berpakaian serba hitam dan punya kecintaan terhadap musik yang meraung sekian desibel lebih keras, sekian ketukan lebih kencang. Dalam satu dan lain hal, ia juga pengumuman eksistensi.
The Headliners
Pukul 10.00 tepat, festival resmi dimulai dengan penampilan band melodic death metal, Starightout dari Jakarta. Penonton tak ambil pusing walau jumlah belum seberapa. Circel pit, kerumunan metalhead yang beringkrakan membentuk lingkaran dan saling bertubrukan langsung terbentuk. Dari sini acara langsung tancap gas. Massacre Conspiracy dan Dead Vomit jadi penampilan yang paling banyak mengundang kerumunan sepanjang siang.
Tapi pertunjukan sebenarnya baru mulai pukul 17.00 tepat. Kerumunan yang sudah paham band apa yang akan tampil saat itu merapat ke Sonic Stage, satu dari dua panggung megah yang jadi pusat festival. Tanpa basa-basi, band metal dari Jakarta, Seringai, langsung menggeber “Dilarang di Bandung.” Gebukan drum Edy “Khemod” Susanto dan raungan vokalis Arian13 tak memberi ampun penggemar mereka.
Koil tampil di Hammer Stage selepas itu. Harus dikatakan dengan tegas, band industrial dari Bandung yang satu ini musti dipertimbangkan untuk di-banned dari festival-festival musik. Bagaimana tidak, ribuan penggemar mereka yang memadati venue sore kemarin hanya disuguhi tiga lagu saja, dengan sound engineering yang buruk pula. Koil hanya memanfaatkan setengah dari waktu yang diberikan panitia buat mereka. Otong, sang vokalis, harus paham, membanting gitar dipanggung, dan terluka karenanya, tak serta-merta membuat orang jadi rockstar hebat.
Sudah bukan rahasia kalau Taiwan terkenal dengan industri hiburan yang menye-menye. Mulai dari opera televisi sampai grup band dengan vokalis cowok yang cantik-cantik. Orang jarang tahu kalau ternyata ada band metal bagus dari negeri itu. Namanya Cthonik. Band black metal politis (Cthonik mengkampanyekan kemerdekaan Taiwan dan Tibet dari Cina) itu sukses menyihir penonton dari Hammer Stage dengan perpaduan musik brutal dan musik tradisional taiwan. Lengkingan Ehru, alat musik gesek dua senar khas Taiwan yang dimainkan vokalis Freddy Lim terdengar magis ditingkahi deruman gitar senar delapan gitaris Jesse Liu.
Biasanya, penggemar metal dan punk bukan dua komunitas yang bisa ‘jalan bareng’. Band gaek Dirty Rotten Imbicile (D.R.I) membuat pandangan itu untuk sementara diasingkan. Membawakan musik crossover metal-punk, D.R.I sukses membuat metalhead dan punker melupakan perbedaan dan terjun ke dalam arena brutal moshpit bersama-sama. Pemandangan yang jarang, rambut-rambut gondrong dan kepala-kepala berpotongan mohawk mengangguk untuk musik yang sama.
Kematian anggota band hanya punya dua akhir bagi band yang ditinggalkan. Bubar jalan, atau jadi lebih hebat. Untungnya, jalur yang disebut terakhir yang nampaknya diambil band metalcore dari Bandung, Burgerkill. Kematian vokalis Ivan Firmansyah 2006 lalu, tak membuat Burgerkill mengendorkan tegangan. Saat Shadow of Sorrow digeber dihadapan ribuan pengunjung Hammersonic, orang bisa langsung paham Burgerkill masih bagus, atau justeru jadi lebih bagus. Raungan sub-tenggorokan Vicky, sang vokalis anyar dan deruman gitar Eben memberikan klimaks bagi penggemar mereka.
Selepas penampilan apik Burgerkill, sulit membayangkan band lain bisa menggerakkan lagi penonton. Tapi band death metal dari Australia, Cryoptic sepertinya tak perduli. Mereka terus saja menggeber musik metal teknik tinggi mereka tanpa berusaha memancing penonton dengan komunikasi personal. Bagusnya, penggemar metal paham musik bagus. Tanpa dikomando, musik Cryoptic yang tanpa cela itu dapat apresiasi.
Penampil tenar yang menghiasi Hammersonic, harus jujur diakui, sudah pada tua. Hampir semuanya terbentuk tahun 1980’an-1990’an. Dalam hal ini, Deadsquad berbeda. Sebelum Cryoptic selesai tampil di Hammer Stage, ratusan penonton sudah bersiap di panggung sebelah, tempat Deadsquad akan beraksi.Seperti umur mereka yang baru sekitar enam tahun, superband death metal ini penggemarnya juga lebih muda, dan tak sedikit. Absennya Choki, gitaris utama tak menyurutkan tembok suara yang mereka bentuk. Begitu Daniel, sang vokalis meneriakkan “Manufaktur Replika Baptis” koor penonton membahana.
Nile dan Suffocation, dua band AS yang menutup festival tak memberikan jeda bagi penonton. Permainan teknik tinggi Nile yang membawa serta bunyi-bunyian dari timur tengah, dan death metal ciamik dari Suffocation ditingkahi penonton dengan sambutan meriah hingga acara pungkas.
Banyak yang tak mengira pagelaran yang disebut sebagai “terbesar di Asia Tenggara” ini akan jadi besar betulan. Satu kekurangan dari penyelenggara adalah sempitnya subgenre metal yang ditampilkan. Terlalu banyak death metal. Barangkali di masa datang, ada baiknya para penampil dicomot dari rerupa cabang musik metal yang demikian luas itu. Dan jika saat itu tiba, tak menghadiri acara ini bisa dibilang aib bagi para metal head Indonesia.