REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Bersamaan dengan pengumuman PM Israel, Benjamin Netanyahu, terkait jadwal pemilu, sejumlah jajak pendapat mengisyaratkan kecenderungan pemilih Israel yang condong mendukung ekstrimisme, permusuhan serta pembantaian di Jalur Gaza.
Pemilih Israel ketakutan. Pasukan Israel yang merupakan pertahanan terakhir entitas Yahudi telah gagal dalam menghabisi kelompok Hamas pada 2009 dan Hizbullah pada 2006.
Meski demikian, pembantaian yang dilakukan Israel merupakan fokus para kandidat pemimpin Israel dalam program kampanye mereka. Tangan yang paling kejam terhadap Palestina adalah yang paling banyak meraih dukungan pemilih Israel.
Guru Besar Ilmu Politik di Universitas An-Najah, Palestina, Prof Abdus Sattar, mengatakan pemilu Israel tidak akan berpengaruh banyak di kawasan secara mutlak. "Pemilu ke depan, sebagaimana 60 tahun terakhir, tidak pernah memengaruhi hubungan dengan Arab secara umum dan situasi dengan Palestina secara khusus," kata Sattar, sebagaimana dilansir Info Palestina, Sabtu (5/5).
Sementara itu, pakar urusan Israel, Dr Adnan Abu Amir, memperkirakan pemilu Israel yang dipercepat ini karena Netanyahu ingin menghindari krisis internal dan ingin memanfaatkan popularitasnya yang sedang meningkat dan partai Likudnya.
"Pemilu Israel tidak akan mengubah suasana di kawasan. Juga tidak akan berdampak terhadap masalah-masalah luar negeri seperti Palestina, Iran dan lain-lain," kata Amir.
Ia menambahkan, kemenangan Natenyahu hampir bisa dipastikan dalam pemilu kali ini. Karenanya, status quo akan tetap bertahan. Bisa jadi akan terjadi koalisi baru antar partai Israel. Menurut hasil polling, publik Israel lebih cenderung mengakhiri solusi dua negara atau merebut sebagian hak Israel melalui perundingan.