REPUBLIKA.CO.ID, Perlahan tapi pasti, Helena mulai mempelajari ajaran Hindu dan Buddha. Dari kedua agama itu, ia mempelajari tata cara beribadah.
"Saat itu, aku belum tahu tentang Islam. Aku pernah membaca buku tentang Islam, tapi aku tidak tahu mengapa enggan membaca buku itu lantaran berbau propaganda yang menyudutkan Islam dan Muslim," ujarnya.
Isi buku itu, kata Helena, merupakan distorsi media massa. Terlihat dari isinya yang menceritakan bagaimana pria Muslim menindas istrinya.
Memasuki tahun terakhir kuliah, Helena kian memiliki gairah besar untuk mendalami ilmu pengetahuan. Tapi tidak seperti sebelumnya, pencarian akan kebenaran terus ia lakukan. Yang menarik, Islam mulai masuk dalam perhatiannya.
"Aku tidak tahu siapa Muhammad, dan aku tidak tahu bahwa Allah sama dengan "Tuhan". Aku mulai bertanya dan membaca buku, tetapi yang paling penting, aku mulai bersosialisasi dengan kaum Muslim," tuturnya.
Dulu, Helena sempat berteman dengan orang-orang dari sejumlah negara lain. Ia selanjutnya berkenalan dengan Muslim. Kesan pertama perkenalan itu cukup mengena di hatinya.
"Mereka menerimaku dengan apa adanya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk memaksaku memeluk Islam. Mereka memperkenalkan apa yang disebut Islam, lantas bagaimana seorang Muslim beribadah. Aku tertarik, tapi aku belum yakin Islam adalah jawabannya," paparnya.
Helena pun tak berhenti mengenal lebih dalam tentang Islam. Ia bandingkan dengan kepercayaan sebelumnya. Lalu kesimpulan yang ia dapat, Islam adalah jawabannya.
"Yang menarik perhatianku adalah Islam seiring sejalan dengan ilmu pengetahuan. Islam mendorong setiap Muslim untuk menguasai sains. Aku bahagia mengetahui hal itu, tapi hatiku belum utuh menerimannya," kenangnya.
Tak lama berselang, hati Helena pun luluh. Ia membayangkan diri hidup dengan identitas Muslim. "Aku terkejut, aku merasa hidupku akan lebih jujur, sederhana, damai dan tenang. Aku mendapatkan esensi dari makna kehidupan. Alhamdulillah, aku pun bersyahadat," pungkasnya.