REPUBLIKA.CO.ID, Setelah lebih 400 tahun menjadi bagian integral Britania Raya, Muslim Inggris ternyata masih bergelut dalam pencarian identitas. Gelombang imigran dari Asia Selatan dan Kecil dalam 50 tahun terakhir telah memaksa komunitas beranggota 1,5 juta orang ini melihat kembali posisinya di dalam masyarakat Inggris
Pada awal artikel Islamic Britain, Abdal Hakim Murad -- seorang intelektual Muslim Inggris -- mengajukan sejumlah pertanyaan menggelitik kepada masyarakatnya. Siapakah Muslim Inggris? Apakah orang Inggris yang memeluk Islam, atau pemeluk Islam yang berkewarganegaraan Inggris?
Sederhananya, Muslim Inggris adalah siapa pun pemeluk Islam yang memegang paspor Inggris. Namun, definisi ini terlalu sederhana bagi komunitas yang memiliki keragaman, dan tidak cukup untuk menggambarkan posisinya sebagai bagian integral masyarakat Inggris. Serta tidak cukup menjawab dua pertanyaan berikutnya. Pendefinisian yang lebih bijak haruslah dimulai dengan membagi 1,5 juta populasi Muslim Inggris ke dalam tiga kelompok. Pertama, mereka yang memiliki formasi kultural non-British, tapi bermigrasi ke Inggris.
Kedua, anak cucu kelompok pertama. Kelompok kedua ini sering dilihat sebagai komunitas Muslim yang berada di antara dua dunia, meski dalam kenyataannya dunia British telah membentuk jiwa mereka sedemikian rupa. Sekolah-sekolah modern secara sistematis mengasuh mereka untuk masuk ke dalam akulturasi, atau perlahan-lahan memupus identitas tradisional keluarga dari tubuh anak-anak ini.
Muslim Inggris menolak kenyataan ini. Tapi, anak-anak mereka mengatakan merasa memiliki orangtua ketiga; guru sekolah. Mereka yang menolak Britishness tanpa sadar melakukan tindakan radikal yang dipengaruhi pembangkangan gaya Barat. Yaitu, mereka melokalisir radikalisme hanya pada tataran sosial dan politik, dan tidak menjadikannya sebagai gerakan spiritual seperti jihad. Ketiga, kelompok masyarakat asli Inggris yang memeluk Islam, atau lazim disebut 'revert community'. Dibanding pertama dan kedua, kelompok ini relatif sangat kecil, dan sangat berbeda dibanding kelompok Muslim lainnya.
Tidak ada definisi yang jelas mengenai kelompok ini. Orang mungkin bisa saja mengatakan mereka adalah orang Inggris yang sengaja memilih Islam. Namun di sisi lin mereka tidak bisa disamakan dengan orang Inggris lainnya yang menjadi Budhis, Hindu, atau yang meninggalkan agama keluarga dan menjadi pemeluk agama lain. Studi tentang kelompok ini juga tidak menghasilkan kesimpulan umum untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka memilih Islam. Padahal ini amat penting untuk kegiatan dakwah. Kalau pun ada yang bisa diperoleh kebanyakan dari mereka sebelumnya pemeluk Katolik.
Di antara ketiga kelompok ini, kelompok ketiga paling sengit mengkonfrontasi perlunya Muslim Inggris memiliki identitas diri. Sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Muslim Pakistan, Muslim India, Muslim Indonesia, atau lainnya, yang kebetulan tinggal di Inggris. Gagasan ini relatif bagus. Setidaknya mereka memandang Islam sebagai konsep yang bisa menjadi melting pot bagi banyak suku bangsa. Terlebih, Islam mengajarkan betapa keberagaman bukanlah musibah, tapi anugerah bagi masa depan.
Tidak mudah mewujudkan gagasan ini. Setidaknya diperlukan waktu sekian lama, dan melalui peralihan beberapa generasi. Misal, Muslim Mesir, Indonesia, dan Pakistan, harus melewat proses akulturasi yang sangat lambat -- setidaknya perlu tiga generasi -- untuk menjadi orang Muslim Inggris. Harus pula dimengerti betapa Muslim pendatang baru kerap membawa semangat absolutisme yang menyulitkan mereka berinteraksi dengan masyarakat sekelilingnya, bahkan dengan sesama Muslim yang telah lahir di daratan Inggris.
Mereka memandang segala sesuatunya dengan hitam-putih, angelic and demonic, dan menganggap segala sesuatu yang berada di luar Islam sebagai 'musuh' yang harus dijauhi, atau dilawan. Kelompok ini menggunakan istilah 'mereka' dan 'kita' untuk membedakan dirinya dengan komunitas lain. Di sisi lain, terdapat kelompok lain -- bukan imigran -- yang memeluk Islam karena alasan spiritual dan intelektual. Mereka akan terus melakukan pencarian sekali pun mereka telah masuk ke dalam Islam. Bagi mereka menjadi Muslim hanyalah langkah pertama untuk mendapatkan kebahagiaan.
Mereka tidak mempersoalkan identitas. Bagi mereka, orang yang masuk Islam untuk mencari identitas, atau Muslim Inggris yang mempersoalkan identitas, adalah sektarian. Persoalan identitas, bagi mereka, hanya akan membawa umat Islam terus menerus mencari kelompok yang dianggap sempurna agar dapat 'enjoy' di dalamnya. Namun, persoalan besar dalam pencarian identitas bukan terletak pada banyaknya perbedaan pemikiran di antara kelompok masyarakat. Menurut Hakim Murad, haruslah diakui Islam tidak identik dengan Arab. Sehingga, Islamisasi tidak membawa Arabisasi. Berbeda dengan Kristenisasi yang identik dengan Eropanisasi, atau lebih tepatnya Westernisasi.
Masjid di Nigeria, Jakarta, London, atau negara-negara lain, tidak akan pernah sama. Di Indonesia, atau di Cina, Islam relatif bisa menerima -- tentu saja dengan sedikit modifikasi dan mengganti semangatnya -- tradisi masyarakat setempat. Begitu pula di negara-negara lain yang pengaruh agama pra-Islam cenderung telah mengakar di masyarakat. Di sisi lain, Islam juga tidak mengenal uniformitas dalam beragama. Tapi menyediakan ruang bagi setiap kelompok masyarakat untuk berekspresi, dan membentuk kultur keislamannya sendiri-sendiri. Pembentukan bisa dilakukan melalui pecampuran dengan tradisi yang sudah ada, atau mengadopsi kultur lain yang disesuaikan dengan komunitasnya.