REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD - Rekonsiliasi warga Irak yang terpecah-pecah selepas jatuhnya rezim Saddam Hussein terus dilakukan. Rekonsiliasi ini dipandang penting guna membangun kembali Irak yang porak-poranda.
Kementerian pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah Irak misalnya, mencoba untuk menjembatani perbedaan di kalangan umat Islam dengan mengubah kurikulum pelajaran sejarah di universitas. Perubahan itu dimaksudkan untuk menghilangkan keberpihakan terhadap salah satu kubu.
Selama ini, kurikulum sejarah Irak lebih didominasi satu pandangan yang dianggap lebih cenderung memihak muslim Sunni. Kondisi itu membuat muslim Syiah merasa tidak nyaman dan terpinggirkan. Situasi kian runyam ketika pemerintahan Saddam mengabaikan eksistensi Syiah sebagai mayoritas di Irak.
Sebagai contoh saja, kurikulum baru itu memaparkan kekalifahan Imam al-Hassan, cucu Nabi Muhammad SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Presiden yang digulingkan oleh invasi AS pada 2003 lalu itu, sejarah yang ada lebih banyak bercerita kekalifahan Umayah dan Abassiyah selaku penerus dari empat khalifah sebelumnya.
Seperti diberitakan alarabiya.net, Rabu (30/5), usaha menyatukan ini acap kali dilakukan namun selalu gagal. Melalui pendidikan sejarah, pemerintah Irak berharap akan memicu dorongan rekonsiliasi antara kedua pihak.
Namun, bukan berarti inovasi ini tanpa kendala. Cukup sulit untuk menyeragamkan pemikiran ini pada setiap universitas di Irak. Saat ini saja, Universitas Teknologi dan Universitas Nahrain memberlakukan kebijakan untuk tidak mengubah apapun dalam kurikulum sejarah mereka.