REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa kasus terorisme Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek menyatakan kembali bahwa dia bukan penentu aksi-aksi terorisme yang melibatkan dirinya. "Saya masih junior, saya bukan penentu," katanya saat membaca nota pembelaan pribadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (30/5).
Umar menyatakan sempat menolak rencana pengeboman yang pertama di Bali tahun 2002. Insiden itu akhirnya mengakibatkan 192 orang meninggal dunia.
Dia juga meminta kepada rekannya agar mengalihkan dana pengeboman untuk membantu biaya jihad di negara lain seperti Afghanistan dan Checnya. "Bali bukanlah Palestina," katanya dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Encep Yuliardi.
Menurut Umar, usul itu ditolak. Namun dia mengaku tidak bisa meninggalkan Bali. "Yang pertama saya hanya punya uang Rp10 ribu. Dan rumah selalu dalam keadaan terkunci," katanya.
Umar juga mengaku awalnya dia tidak mengetahui rencana pengeboman gereja di Jakarta pada malam Natal tahun 2000. Setelah tahu pun dia menolak rencana itu.
"Karena sepengetahuan saya, itu(tindak kekerasan,red) tidak dibolehkan dalam ajaran Islam," katanya serta menambahkan bahwa dia hanya diminta Dulmatin untuk menyetel alarm bom ke jam sembilan.
Umar Patek juga membantah keterlibatannya dalam pelatihan militer di Aceh dan uji coba senjata M-16 di Banten. "Saya siap dipenggal leher saya di depan pengadilan hari ini! kalau itu benar," teriaknya.
Dia juga menyatakan sebenarnya malas menyusun pembelaan karena jaksa penuntut hanya menyalin surat dakwaan dalam membuat tuntutan, tidak menyertakan fakta dan keterangan baru yang muncul selama persidangan.
Sebelumnya jaksa penuntut umum meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Umar Patek karena keterlibatannya dalam sejumlah aksi terorisme, termasuk pemboman yang menewaskan 192 orang di Bali tahun 2002 dan pengeboman sejumlah gereja pada malam natal tahun 2000.