REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menegaskan tudingan Indonesia sebagai negara yang intoleran dalam kehidupan beragama merupakan penilaian yang keliru. Ia justru menilai seharusnya negara-negara Barat itu lebih banyak lagi belajar soal toleransi kehidupan beragama dari Indonesia.
"PBB mengatakan hal itu, pembandingnya dengan siapa? Indonesia tidak toleran, itu penilaian yang sangat keliru," kata Yunahar dalam perbincangan melalui saluran kepada Republika di Jakarta, Senin 4/6).
Yunahar memberikan beberapa contoh kalau Indonesia itu sebenarnya sangat layak menjadi teladan dari negara asing dalam urusan toleransi beragama. Ia mengajak agar Eropa maupun Amerika Serikat bisa melihat bagaimana Indonesia memperlakukan perayaan hari besar negara.
Indonesia dengan negara berpenduduk Muslim hingga 88 persen, kata dia, justru tetap memberikan hari libur kepada umat non-Muslim. Bahkan untuk perayaan hari agama non-Muslim, Indonesia tetap memberikan libur. "Kurang toleran di mana? Coba tunjukkan bagaimana di Amerika atau Eropa dalam menyambut hari-hari Muslim di sana? Ada ngak mereka memberikan hari libur," ujarnya.
Lalu Yunahar juga menyebutkan bagaimana pertumbuhan rumah ibadah. Gereja katolik dan protestan, kata dia, ternyata sangat pesat pertumbuhannya dibandingkan dengan musala maupun masjid. "Bahwa ada peristiwa di sana-sini, itu hal biasa. Penyebabnya bukan dipicu masalah agama tetapi lebih kepada masalah sosial dan ekonomi," jelasnya.
Dalam kasus gereja Yasmin, Bogor, Jawa Barat, Yunahar menilai hal tersebut sangat tidak beralasan. Ia bahkan mengajak seluruh anak negeri untuk melihat perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam yang hendak membangun masjid di Papua, NTT atau Bali. "Di sana Islam juga tidak bisa bebas," ungkapnya.
Kemudian Yunahar memberikan contoh terhadap pejabat non-Muslim yang berada di jejeran menteri. Dengan situasi seperti ini, ia justru menantang negara-negara yang keras mengusung HAM itu untuk memberikan contoh bagaimana posisi umat Islam memperoleh jabatan menteri di negara mereka masing-masing. "Jadi itu sangat tidak tepat," katanya.
Namun jika melihat aspek positif dari tudingan PBB itu, Yunahar mengatakan, hal ini harusnya bisa menjadi peringatan untuk umat Muslim mampu membangun jaringan informasi. Tudingan Indonesia tidak toleran dalam kehidupan beragama, kata dia, kemungkinannya disampaikan LSM-LSM yang tidak suka dengan Islam.
"Untuk jaringan informasi ini kita memang sangat kurang. Ini harusnya bisa jadi peringatan buat kita memperkuatnya," tandasnya.