REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai bukan lagi sebagai konsumen, tapi juga produsen yang mengekspor narkoba. Angka narkoba yang masuk ke Indonesia dalam jumlah besar menjadi salah satu indikasinya.
"Saya rasa itu jelas, tidak mungkin hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," jelas Ketua DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat), Marwan Ja'far, saat dihubungi, Ahad (10/6).
Narkoba sebanyak itu tidak mungkin disimpan lama, sehingga harus segera diedarkan untuk menghasilkan uang. Pihaknya meyakini narkoba dalam jumlah besar yang belakangan disita aparat berpotensi untuk diekspor kembali.
Awal Mei lalu Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita hampir 1,5 juta butir ineks yang nilainya tidak kurang dari Rp 400 miliar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Polda Metro Jaya tidak lama kemudian mengamankan barang bukti 351 Kg sabu senilai tidak kurang dari Rp 700 miliar.
Baru-baru ini, Direktorat Narkoba dan Kejahatan Terorganisir Bareskrim Polri, mengungkap gudang ratusan kilogram sabu siap edar beserta 350 karung lebih prekursor berupa soda api.
Marwan menilai, penemuan Mabes Polri berupa prekursor dalam jumlah besar juga mengindikasikan adanya produksi narkoba dalam jumlah besar. "Ini sudah jelas Indonesia sudah menjadi produsen," jelasnya.
Selain itu, Marwan menyatakan jaringan atau sindikat narkoba di Indonesia pasti berhubungan dengan jaringan, bahkan kartel narkoba di luar negeri. "Tentu mereka juga saling mengirim narkoba untuk memenuhi kebutuhan pasar masing-masing daerah," imbuhnya.
Pola hubungan bisa jadi sekedar simbiosis mutualisme dengan posisi egaliter. Namun bisa jadi berhierarkhis. Kartel besar tentunya yang mengendalikan, karena tidak sekedar menjual narkoba, tapi juga sudah memasuki tahapan mempengaruhi kebijakan politik.
"Ini yang paling kami takutkan. Kita harus memerangi narkoba. Jangan sampai narkoba menjadi rezim politik," imbuh Marwan.