REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Munawar Saman Makyanie/Antara
Pemilihan Presiden Mesir putaran kedua yang digelar pada Sabtu dan Ahad (16-17/6) berlangsung di tengah iklim paceklik politik menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan parlemen hasil pemilihan legislatif tidak sah.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diambil Kamis (14/6), hanya dua hari menjelang pemilihan presiden (pilres) tersebut, menimbulkan kontroversi dan penentangan hebat dari kaum pro revolusi yang menggulingkan rezim pimpinan Presiden Hosni Mubarak awal 2011.
MK menyatakan, sepertiga dari total jumlah anggota parlemen dipilih secara tidak sah, begitu pula proses pembentukan parlemen juga bertentangan dengan konstitusi.
Parlemen Mesir berjumlah 508 anggota, terdiri atas 498 anggota terpilih dalam pemilihan dan 10 anggota lainnya diangkat oleh Kepala Negara, yang dalam hal ini Ketua Majelis Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa, Marsekal Hussein Tantawi.
SCAF mengambil alih kekuasaan sejak Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Feberuari 2011 akibat desakan revolusi.
Dalam pemilihan legislatif pada akhir tahun lalu, kubu Islam dari Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, Partai An Nur dari Salafi, meraih 72 persen kursi parlemen.
Selain menyatakan keanggotaan parlemen tidak sah, MK juga membatalkan undang-undang pengasingan politik terhadap pejabat loyalis Mubarak.
UU yang ditetapkan parlemen pada April silam dan disahkan Ketua Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa, Marsekal Hussein Tantawi, itu melarang mantan pejabat loyalis Mubarak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Menurut UU tersebut, semua loyalis Mubarak yang menjabat dalam waktu 10 tahun hingga Mubarak digulingkan pada 11 Februari 2011, dilarang berpolitik hingga 10 tahun ke depan.
Para analis poltik menilai, UU tersebut sengaja dibuat parlemen untuk mencegah loyalis Mubarak yang berambisi maju dalam pemilihan presiden.
Buktinya, UU itu berhasil mendepak mantan Wakil Presiden Omar Soleiman dari pencalonan presiden karena dianggap sebagai loyalis Mubarak.
Loyalis Mubarak lainnya, Ahmed Shafik, juga sempat dikesampingkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pencalonan berdasarkan UU tersebut, namun ia mengajukan pembelaan hukum sehingga diterima kembali sebagai Capres.
Bahkan Shafik yang mantan perdana menteri terakhir di era Mubarak itu berhasil lolos dalam Pilpres tahap kedua melawan Mohamed Morsi, Capres dari Ikhwanul Muslimin.
Moursi dan Shafik mendulang suara terbanyak di antara 13 Capres dalam Pilpres tahap pertama pada 23 dan 24 Mei lalu.
Pembatalan UU oleh MK itu, tentu saja, memuluskan jalan bagi Shafik, untuk maju ke Pilpres tahap kedua tersebut.
Untuk mengamankan Pilpres tahap kedua itu, penguasa militer menyatakan pihaknya mengerahkan kekuatan penuh sebanyak 150 ribu personel dari jajaran militer dan polisi di seantero Mesir.