REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki menyerukan pemilihan umum segera dalam sebuah pernyataan, Rabu (27/6), setelah serangkaian krisis memuncak pada seruan-seruan bagi pendongkelan dirinya. Pemilu parlemen yang akan datang seharusnya berlangsung pada 2014.
"Ketika pihak lain menolak duduk di meja dialog dan mendorong kebijakan yang menyulut krisis terus-menerus dalam satu cara yang menyebabkan kerugian serius pada kepentingan utama rakyat Irak, maka perdana menteri terpaksa menyerukan pemilihan umum segera," kata pernyataan di situs PM Irak itu, seperti dilansir AFP, Kamis (28/6).
Menurut Pasal 75 Konstitusi, parlemen bisa dibubarkan dengan suara mayoritas mutlak. Proses itu bisa dimulai dengan dua cara, melalui permintaan sepertiga anggota parlemen atau permintaan perdana menteri setelah terlebih dulu disetujui oleh presiden.
Perselisihan politik panjang yang bermula dengan tuduhan-tuduhan bahwa Maliki memonopoli pengambilan keputusan dalam pemerintah memuncak dengan seruan pengunduran dirinya. Upaya untuk meminta Presiden Irak Jalal Talabani menyerukan mosi tidak percaya menemui kebuntutan. Soalnya, menurut dia, oposisi kekurangan suara untuk menggulingkan Maliki.
Keputusan itu menandakan bahwa hanya ada satu cara untuk mendorong mosi tidak percaya. Caranya adalah meminta PM Irak tersebut hadir di parlemen dan kemudian mengadakan pemungutan suara untuk mosi tidak percaya.
Pada 21 Juni, ketua parlemen Osama al-Nujaifi mengatakan, para penentang Maliki dalam beberapa hari mendatang akan meminta kepala pemerintah Irak itu untuk hadir di parlemen dalam upaya baru menggulingkannya. Ahad (24/6), ulama berpengaruh Syiah Moqtada al-Sadr mendesak penggantian Maliki agar reformasi bisa berlangsung, dan anggota-anggota parlemen dari kubunya akan mendukung mosi tidak percaya jika diperlukan.
Sadr, ketua blok parlemen Ahrar, bagian penting dari pemerintah persatuan nasional, sebelumnya mengecam PM Irak itu sebagai diktator yang haus pujian dan menuduhnya berusaha menunda atau membatalkan pemilihan umum. Blok Iraqiya yang didukung Sunni, Presiden Kurdi Massud Barzani dan ulama berpengaruh Syiah Moqtada al-Sadr merupakan kekuatan utama yang mendorong pengunduran diri PM Irak itu.
Irak dilanda kekerasan yang menewaskan ratusan orang dan kemelut politik sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak. Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga berselisih dengan kelompok Sunni.