REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Ijtima' ulama di Tasikmalaya membahas khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender yang kini masih dibahas DPR. Ulama menilai RUU ini menimbulkan pro dan kontra karena mengancam sendi-sendi agama.
Wakil Sekretaris Jenderal Majlis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, menilai RUU ini mengacu kepada hukum internasional yang mengabaikan kearifan lokal bangsa ini. "Karakter bangsa yang menjadi khazanah kekayaan masyarakat diabaikan," jelasnya, di Tasikmalaya, Ahad (1/7).
RUU tersebut dinilainya terlalu mengacu kepada Barat yang memang mendewakan feminisme. Lahirnya tidak lepas dari pengabaian nilai-nilai keagamaan dan desakralisasi. Gerakan feminisme dan gender ini merupakan konsekuensi dari itu semua.
Pihaknya menilai RUU ini perlu mengacu kepada pentingnya menjaga dan memelihara nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk ajaran agama dan kebudayaan. Apabila RUU ini disahkan, jelasnya, maka dikhawatirkan terjadi perubahan, perombakan, bahkan pembongkaran tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pihaknya menilai, dikhawatirkan RUU ini nanti akan merubah hak waris yang selama ini mengacu kepada ilmu warisan atau mawarits yang ada dalam Islam. RUU ini mengancam eksistensi unsur Islam dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Selain itu juga merubah wali nikah yang semula laki-laki kemudian menjadi wanita. Sementara dalam Islam, wali nikah adalah laki-laki. Lebih parah dari itu semua, dikhawatirkan RUU ini akan menghalalkan kawin sejenis, membolehkan poliandri, dan membuka penafsiran pengembangan pribadi, termasuk homoseksual dan pengembangan lingkungan sosial termasuk komunitas homoseksual.
"Kami tidak ingin semua itu terjadi," jelasnya. Homseksual didalam Islam dikategorikan sebagai dosa besar (kabirah) yang ancaman siksaannya tidak seperti dosa-dosa lainnya.