REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sejak pekan terakhir bulan lalu, Wayang Potehi digelar di kawasan Pecinan. Tak banyak warga tertarik tontonan tersebut, namun pergelaran seni hasil akulturasi Cina-Jawa tersebut tetap digelar selama tiga pekan.
Tak banyak warga tertarik pertunjukan yang hanya digelar tiap memperingati hari besar Cina tersebut. Penonton hanya dalam hitungan jari itu pun dari kalangan orang tua atau lanjut usia. Meski demikian, sang dalang tetap bersemangat melantunkan cerita dan lagu dengan bintang wayang orang dalam ukuran mini.
Bambang Sutrisno atau Oei Tjiong Hwat (75 tahun), merupakan satu dari dua dalang tersisa yang masih peduli kelestarian kesenian tersebut. Selain dia yakni Thio Tiong Gie (80 tahun). Usia mereka dapat dikatakan telah sangat sepuh. Keberadaan wayang potehi pun ditakutkan akan hilang jika kedua dalang tersebut tutup usia.
Meski demikian, Bambang sangat optimis seni wayang potehi tak akan tergerus zaman. Menurutnya selama masih ada Pecinan maka wayang potehi akan terus lestari. "Selama ada Tionghoa, Potehi akan terus ada. Dan selama ada rumput di muka bumi, maka Tionghoa akan terus ada," tuturnya.
Salah satu upaya Bambang, yakni dengan menggelar wayang potehi setiap hari di Surabaya. Uniknya, meski sepi penonton, wayang tetap ditampilkan. Menurut Sejarawan Jongkie Tio, hal tersebut dikarenakan dalam anggapan warga Tionghoa, sang dewa lah yang menonton pertunjukan tersebut.
Jongkie mengatakan perlu adanya pengenalan kesenian tersebut kepada pemuda. Dengan cerita yang disesuaikan kaum muda, akan lebih mendekatkan seni asal negeri Tiongkok tersebut. Apalagi, kata Jongkie, Wayang Potehi tak sekedar sebuah tontonan, melainkan juga sebagai pemberi pesan baik kepada masyarakat.
Adapun asal kata Potehi (Pow Tee Hie) menurut Dosen Sejarah Undip, Titik Suliyati, berasal dari kata 'Poo' yang berarti kain, 'Tay' yang artinya kantung, dan 'Hay' yang berarti wayang. Sehingga, Potehi memiliki makna wayang yang dibuat dari kantung kain, sejenis wayang dari kayu yang dimainkan di panggung kecil.
Wayang Potehi ini awalnya menceriterakan tentang cerita-cerita klasik Cina. Pada perkembangannya kemudian cerita-cerita ini ditambah dengan cerita rekaan yang mengambil latar belakang budaya setempat. Bahasa yang digunakan dalam pementasan Wayang Potehi awalnya adalah bahasa Hokkian, tetapi pada perkembangan selanjutnya menggunakan bahasa Melayu-Cina.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pementasan Wayang Potehi antara lain siter, rebab, gong dan sebagainya. Saat ini Wayang Potehi sudah sangat jarang ditampilkan. Hanya pada perayaan-perayaan dan hari-hari besar saja Wayang ini di tampilkan untuk masyarakat luas.