REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Cina pada Kamis (5/7) menyatakan tak akan menghadiri pertemuan 'Teman Suriah' di Paris, yang bertujuan menggalang upaya Barat dan Arab untuk menghentikan kekerasan di negara itu.
"Cina pada saat ini tidak mempertimbangkan menghadiri pertemuan itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Liu Weimin kepada wartawan ketika ditanya tentang undangan Prancis untuk terlibat dalam acara yang dijadwalkan berlangsung pada Jumat tersebut.
Pertemuan Paris menyusul acara serupa di Tunis pada Februari dan Istanbul pada April, yang keduanya sia-sia menyeru tindakan lebih keras terhadap pemerintah Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman, bersama negara Arab -Saudi dan Qatar-adalah pemimpin 'Teman Suriah'.
Kelompok itu memiliki lebih dari 60 anggota, termasuk sebagian besar dari negara Eropa Bersatu dan banyak negara Liga Arab. Tapi, Rusia, sekutu lama pemerintah Bashar, menyatakan akan menjauh dari pertemuan Paris itu sesudah menuduh Barat berusaha menyimpangkan kesepakatan kekuatan dunia pada akhir pekan lalu di Jenewa dengan tujuan membuat kekuasaan peralihan.
Cina mendukung Rusia di Jenewa atas kekukuhan bahwa rakyat Suriah harus memutuskan cara peralihan dilakukan, bukan membiarkan orang lain mendikte nasib mereka, dan tidak menutup kemungkinan Assad tetap berkuasa dalam beberapa hal.
Kekuatan Barat menyatakan Bashar tidak boleh menjadi bagian dari pemerintah persatuan baru apa pun. Cina tidak menghadiri dua pertemuan 'Teman Suriah' sebelumnya.
Pertempuran di Suriah kian sengit dalam beberapa pekan belakangan, karena pemerintah dan lawan menerima lebih banyak senjata dari pendukung asing mereka. Pemantau menyatakan kemelut itu telah menewaskan lebih dari 16.500 orang sejak Maret 2011.
Rusia dan Cina sekutunya sebelumnya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghentikan upaya mengutuk Damaskus dan melindungi pemerintah Bashar dari tekanan lebih lanjut di tengah tuduhan bahwa Moskow mengirimkan senjatae Damaskus.
Suriah adalah pijakan terkuat Moskow di Timur Tengah, membeli senjata dari Rusia senilai miliaran dolar Amerika Serikat dan menjadi tuan rumah satu-satunya pelabuhan tetap air hangat Angkatan Laut Rusia di luar bekas Uni Soviet.