REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA), sebagai sebuah lembaga peradilan, dinilai tak konsisten atas penerapan Pasal 197 KUHAP. Hal itulah yang menyebabkan polemik terkait eksekusi. Pendapat tersebut diutarakan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Halius Hosein.
Halius menilai MA kerap kali tidak mematuhi hukum acara ketika mengeluarkan sebuah putusan. Akibatnya, putusan yang batal demi hukum pun dinilai jaksa selaku eksekutor dapat dilakukan eksekusi padahal sudah jelas dalam undang-undang putusan yang tidak mencantumkan syarat formal pemidanaan sesuai Pasal 197 ayat 1 KUHAP, batal demi hukum.
Contohnya, jelas Halius, dalam dugaan kasus eksploitasi lahan kawasan hutan di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kasus ini diduga tanpa izin dari Menteri Kehutanan yang menjerat Direktur Utama PT Satui Bara Tama (PT SBT), Parlin Riduansyah.
Dalam kasus itu, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi dan Peninjuan Kembali (PK) kasus tersebut dengan jelas tidak mencantumkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP tentang syarat formal pemidanaan. Karenanya, kuasa hukum Parlin, Yusril Ihza Mahendra menyatakan perkara yang melibatkan Parlin itu dinyatakan batal demi hukum sehingga tidak dapat di eksekusi.
Komisi Kejaksaan mengaku heran mengapa dalam setiap putusan yang dikeluarkan, MA mencantumkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP dan ada pula yang tidak. Karena jelas dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyatakan bahwa setiap putusan pemidanaan haruslah memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, dan tidak dipenuhinya ketentuan pasal tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
"Masih ada juga putusan pemidanaan MA yang mencantumkan itu. Sedangkan alasan MA pasal itu tidak perlu dicantumkan pada tingkat kasasi dan PK seperti putusan Parlin, apakah MA berani, jika semua putusannya tidak mencantumkan syarat formal pemidanaan, pasal 197 ayat 1 KUHAP," sambung Halius.
Dia berpendapat prinsip KUHAP pada awalnya dibuat untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap putusan lembaga peradilan harus merujuk pada KUHAP selaku hukum acara. "Jangan sampai putusan pengadilan melanggar HAM," sambungnya.
Untuk mengurai polemik soal eksekusi agar tak berkepanjangan, KKRI sendiri akan memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung Basrief Arief, bahwa putusan MA yang tidak mencantumkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP, sesuai Undang-undang (UU), tidak dapat di eksekusi.
Dikhawatirkan polemik soal eksekusi akan menghambat kinerja jaksa-jaksa khususnya di daerah bilamana tak segera dituntaskan. Halius mengimbau agar Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan MA duduk bersama menyelesaikan polemik soal ketentuan eksekusi dan penerapan Pasal 197 KUHAP. "Kejagung dan MA harus duduk bersama, bagaimana ini bisa selesai," tandas dia.