REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sejak 1981 kini tengah disiapkan untuk direvisi secara menyeluruh. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak menyusul disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Revisi KUHAP menjadi penting karena regulasi yang lama tidak dapat lagi mengoperasionalkan KUHP yang baru.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menekankan KUHAP lama adalah UU No 8 Tahun 81 peninggalan orde baru hanya mendukung penerapan KUHP lama. KUHAP yang ada miliki sekarang tidak kompatibel dengan KUHP yang baru. Maka dari itu, yang dibutuhkan bukan sekadar revisi, tapi penggantian secara menyeluruh.
Chairul Huda atau yang akrab di panggil Huda merupakan satu-sat nya pakar akademisi yang diundang dalam rapat yang diselenggarakan oleh Pimpinan Komisi III DPR RI pada 19 Juni 2025 lalu. Rapat tersebut membahas masukan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mengapa Harus Direvisi?
KUHAP saat ini dinilai sudah tidak relevan dan tidak pernah mengalami revisi substansial sejak diberlakukan, kecuali melalui beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini menyebabkan banyak norma dalam KUHAP tidak lagi sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) maupun praktik peradilan modern.
Salah satu kelemahan utama KUHAP saat ini adalah pendekatannya yang semata-mata menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya jalur penyelesaian perkara pidana. Padahal di era modern, pendekatan keadilan restoratif sudah menjadi praktik yang umum. Sayangnya, penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam sistem hukum kita masih “setengah resmi”.
“Restorative justice perlu diatur jelas dalam KUHAP yang baru. Bukan hanya sebagai kebijakan di bawah meja, tapi sebagai mekanisme hukum yang sah dan menjamin kepastian hukum,” kata dia, Rabu (9/7/2025).