REPUBLIKA.CO.ID, Sikap abai dan marginalisasi Pemerintah Yunani terhadap komunitas Muslim telah menciptakan ‘ledakan’ di negara kecil di kawasan Mediterania tersebut.
Menurut Kepala Persatuan Muslim Yunani, Naim El-Gadour, kondisi tersebut seperti bom waktu.
“Itu mungkin tidak akan benar-benar meledak sekarang, namun sepuluh tahun mendatang akan menjadi masalah besar,” ujar El-Gadour.
Kemarahan dan ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat Muslim Yunani dipicu oleh janji-janji berulang yang diberikan pemerintah untuk membangun masjid dan pemakaman khusus Muslim.
Sepuluh ribu Muslim yang bermukim di Athena dipaksa beribadah di sekitar 130 ruang-ruang bawah tanah tanpa udara dan jendela atau gudang-gudang yang telah disulap menjadi masjid.
Athena memang menjadi satu-satunya ibukota negara Uni Eropa yang tidak memiliki tempat ibadah umat Muslim. Kondisi tersebut memaksa Muslim di Kota Athena harus menempuh perjalanan ke Thrace yang berjarak 700 kilometer dari Athena hanya untuk menggelar acara pernikahan, pemakaman, atau upacara keagamaan lainnya.
Thrace merupakan wilayah di utara Yunani yang dihuni oleh minoritas Turki yang berjumlah 120 ribu orang. “Tidak ada masjid, tidak ada pemakaman,” kata Abu Mahmoud, warga Muslim Yunani berkebangsaan Maroko yang telah tinggal di sana sejak 1985.
Pembangunan sebuah masjid di Athena memang bukan merupakan sesuatu yang populer setelah berakhirnya kekuasaan Turki Usmani (Ottoman) akibat pemberontakan yang berkepanjangan pada 1833. Saat itu, wilayah kekuasaannya sampai ke Yunani.
Setelah keruntuhan kekuasaan Ottoman, penduduk Yunani yang berjumlah sekitar 11 juta orang—sebanyak 97 persen penduduk asli Yunani—kemudian dibaptis menjadi Kristen Ortodoks.
Kesulitan pendirian masjid memang telah lama dirasakan umat Islam di Athena. Bahkan, kelompok pembela HAM internasional, termasuk AS, dalam laporan departemen luar negerinya pada 2005 mengkritik Pemerintah Yunani yang dianggap gagal menyediakan bangunan masjid bagi Muslim di Athena.