REPUBLIKA.CO.ID, Dalam makalahnya yang berjudul Jizyah dan 'Usyr Perekonomian Islam, Naili Rahmawati MAg, staf pengajar pada Fakultas Syariah UIN Mataram, memaparkan bahwa Islam telah menetapkan empat kelompok non-Muslim yang menjadi wajib pajak jizyah.
Pertama, orang-orang Arab Musyrik, dalam hal ini, ulama sepakat untuk tidak mengambil atau menerima jizyah dari mereka, sebab bagi mereka hanya ada dua pilihan yaitu masuk Islam atau diperangi.
Kedua, orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai golongan Ahlul Kitab berdasarkan ketetapan Alquran sehingga dari kelompok ini diterima pengeluaran jizyahnya.
Ketiga, orang-orang Majusi dan Shabi'un dapat diterima jizyahnya berdasarkan kesepakatan sahabat, karena Rasulullah pun sendiri berdasarkan riwayat beberapa hadis pernah menerima dan mengambil jizyah dari kelompok ini.
Keempat, orang-orang non-Muslim lainnya seperti penyembah patung dan sebagainya tidak ada ketetapan yang pasti untuk pengambilannya, baik yang berasal dari Alquran maupun hadis. Dalam hal ini, masalah penerimaannya adalah bersifat ijtihad, tergantung pada kemaslahatan dan pertimbangan pihak yang berwenang.
Akan tetapi, ketetapan pembayaran jizyah ini dalam ajaran Islam tidaklah diwajibkan secara keseluruhan. Jizyah pada awalnya dibebankan kepada setiap laki-laki yang telah baligh dan memiliki tanggung jawab (taklif) serta bukan seorang hamba sahaya.
Adapun bagi kaum wanita, anak-anak, orang gila, hamba sahaya dan orang fakir dan orang-orang kafir dzimmi yang ikut berperang mempertahankan negara bersama kaum muslimin tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah. Kewajiban ini juga akan menjadi gugur dengan sendirinya jika seorang kafir dzimmi masuk Islam.