REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) HAM mempertanyakan alasan polisi menurunkan Brimob di Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada Jumat (27/7). Mereka menanyakan hal itu dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi di sana hingga menyebabkan polisi mengerahkan pasukan Brimob.
Wakil Ketua I Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo, menjelaskan, seharusnya, pengerahan pasukan Brimob itu tidak serta merta dilakukan.
Penurunan pasukan di tingkat Polisi Daerah (Polda) tersebut, ujar dia, harus diselenggarakan secara bertahap. "Biasanya kalau situasi di lokasi sudah mencekam, Brimob baru turun ke sana," ungkap Yosep kepada Republika.
Namun begitu, Yosep meragukan situasi dan kondisi di Ogan Ilir yang mencekam sehingga polisi harus menurunkan pasukan Brimob. Untuk itu, tutur dia, tim pencari fakta Komnas HAM di lapangan tengah berupaya mengungkap sistem rentang komando itu.
"Prosedur yang seharusnya dijalani adalah Kapolres mengajukan penurunan Brimob kepada Kapolda, kemudian Kapolda memutuskan, apakah akan dikerahkan atau tidak," papar Yosep melalui sambungan telepon.
Artinya, ungkap Yosep, Kapolres dan Kapolda harus juga bertanggung jawab dalam pengerahan pasukan Brimob di Ogan Ilir.
Pertanggungjawaban mereka, ujar dia, dalam hal pertimbangan pengajuan pasukan (Kapolres) dan penilaian atas pertimbangan tersebut (Kapolda).
"Yang kita khawatirkan adalah adanya order dari pihak tertentu untuk meminta pengerahan Brimob di sana (Desa Limbang Jaya)," ucap Yosep.
Seperti diketahui, seorang anak usia sekolah tingkat dasar, Angga bin Dharmawan (12 tahun) ditemukan tewas dalam bentrokan yang melibatkan warga dengan pasukan Brimob di Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (27/7) pukul 15.00 WIB. Benturan fisik itu terjadi dengan latar belakang sengketa lahan PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis.