REPUBLIKA.CO.ID, Di bawah kepemimpinan Umar, kebebasan menjalankan ibadah dihormati. Toleransi antarumat beragama begitu harmonis.
Setiap pemeluk agama bisa menjalankan ibadahnya sesuai agama dan keyakinannya secara tenang dan aman. Tak heran, jika kepala rahib Yerusalem amat berterima kasih kepada tentara Islam yang telah membebaskan mereka dari penindasan Bizantium.
Kota perang
Di bawah kekuasaan Islam, Yerusalem tumbuh begitu pesat. Selain di era Khulafa Ar-Rasyidin, pada masa pemerintahan kerajaan Ummaiyyah (650-750) dan kerajaan Abbasiyyah (750-969), kota Yerusalem berkembang.
Banyak orang berpendapat bahwa Yerusalem pada ketika itu merupakan tanah yang paling subur di Palestina. Sayangnya, kerukunan umat beragama di kota tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi itu akhirnya retak.
Saat Al-Hakim Amr Allah, seorang khalifah kerajaan Fatimiyyah berkuasa, Gereja Jirat Suci dihancurkan. Konon, kebijakan khalifah inilah yang menjadi salah satu pemantik terjadinya Perang Salib. Yerusalem akhirnya ditaklukkan tentara Perang Salib pada tahun 1099 M dari kekuasaan Khalifah Al-Musta’li.
Umat Islam, Yahudi, dan bahkan Kristen pun dibantai tentara Perang Salib. Tentara Perang Salib ternyata tak bisa membedakan orang Kristen yang tinggal di Yerusalem. Di Yerusalem pun lalu munculah kerajaan Kristen pertama dan Godfrey menjadi raja perdananya.
Umat Islam kembali berhasil merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M di bawah komando pahlawan perang Islam, Salahuddin Al-Ayubi.
Kedamaian kembali tercipta di tanah Yerusalem. Tak ada pembantaian dan semua umat beragama bebas menjalankan keyakinannya. Namun pada tahun 1243, Yerusalem jatuh kembali ke tangan tentara Salib.
Pada tahun 1517, Yerusalem kembali dikuasai Kerajaan Turki Utsmaniyyah. Yerusalem akhirnya terlepas dari genggaman kekuasaan umat Islam setelah Turki kalah dalam Perang Dunia I.