REPUBLIKA.CO.ID, Amalan yang utama pada Ramadhan ialah iktikaf. Yaitu, berdiam diri di masjid dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Hukum beriktikaf secara umum, bagi laki-laki ialah sunah. Ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari Muslim. Bahwa, Rasulullah gemar beriktikaf. Terutama di 10 hari terakhir Ramadhan.
Lantas, bagaimana dengan perempuan? Bolehkah iktikaf tanpa izin suami? Bagaimana menyikapi siklus haid bulanan saat beriktikaf?
Syekh Ahmad Azzauman menguraikan hal ihwal iktikaf dalam esainya yang berjudul “Al-I’tikaf Hikmatuhu wa Ahkamuhu”. Termasuk hukum-hukum iktikaf yang berkaitan langsung dengan kaum Hawa. Soal hukum beriktikaf, ia menegaskan, tidak ada beda antara Muslim dan Muslimah.
Iktikaf sunah bagi keduanya. Ini merujuk pada hadis Bukhari-Muslim. Disebutkan bahwa Rasulullah beriktikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan hingga ajal menjemput. Aktivitas ini terus dihidupkan oleh istri-istri Rasulullah. Apakah sebelum melaksanakan iktikaf itu, perempuan diharuskan mengantongi izin dari wali atau suaminya?
Menurut pendapat yang kuat, kata Syekh Ahmad, keharusannya memang demikian. Ia diperbolehkan beriktikaf dengan syarat mesti mendapat izin. Selain itu pula, dengan catatan bahwa kegiatannya itu tidak menimbulkan fitnah di kemudian hari. Ini seperti dinukil dari “Syarh As-Sunnah” karya Al-Baghawi dan “Al-Majmu” karya An-Nawawi.
Kasus berikutnya yang dikupas oleh Syekh Ahmad ialah perihal pelaksanaan iktikaf bagi perempuan yang mengalami istihadhah (keluar darah secara berkelanjutan di luar siklus menstruasi bulanan). Bolehkah yang bersangkutan beriktikaf?
Menurut mayoritas ulama—seperti dinukil dari kitab "Al-Mughni" dan "Nail Al-Authar" karya As-Syaukani—Muslimah yang diserang gejala ini maka ia tetapi disilakan beriktikaf. Dengan syarat, ia berhati-hati dengan darah yang terus keluar. Ini bisa diantisipasi dengan mengenakan pembalut yang bisa melindungi darah menetes dan jatuh di lantai masjid.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook