REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan perselisihan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri terkait penanganan kasus simulator SIM bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diputuskan. Keterangan Yusril tersebut berbeda dengan pendapat Mahfudz MD yang disampaikan di media. Ia berkeyakinan bahwa MK berwenang memutuskan soal sengketa kewenangan.
"Saya berpendapat itu adalah alternatif terakhir apabila kedua pihak tidak dapat berkompromi dan presiden juga tidak berdaya mengatasi perselisihan antara dua lembaga penegak hukum ini," ujar Yusril usai menghadiri pertemuan dengan Kabareskrim di Mabes Polri, Senin (6/8).
Ia menyebut kewenangan Polri untuk menangani kasus diatur dalam pasal 30 UUD 1945, yaitu untuk menegakkan hukum. Sedangkan kewenangan KPK didasarkan pada UU, bukan UUD 1945. "Oleh karena itu, ini akan menjadi sesuatu menarik kalau sekiranya nanti masalah ini dibawa ke MK dan akan diputuskan siapa yang berwenang," katanya.
Kendati demikian, mantan Menteri Kehakiman dan HAM tersebut menilai Mabes Polri lebih berhak menangani kasus dugaan korupsi simulator tersebut. Ia menyebut Pasal 6 sampai Pasal 10 UU tentang KPK yang mengatur tentang kewenangan KPK, antara lain melakukan supervisi.
Supervisi dilakukan bukan terhadap kasus, tapi lembaganya. Yusril mengatakan KPK dapat mengambil alih suatu kasus jika penanganan suatu kasus berlarut-larut, laporan tidak ditindaklanjuti atau ingin melindungi mereka yang terlibat dugaan korupsi itu. Jika polisi atau jaksa lemah dalam penegakan hukum, maka tugas KPK untuk membantu mereka.
Ia menegaskan jika KPK terus ngotot mengambilalih kasus ini, maka Polri berwenang mengatakan tidak bisa. Sebagai cara paling terhormat menyelesaikan masalah ini, Polri disarankan mengajukan sengketa kewenangan ke MK agar lebih adil.